Jumat, 20 Agustus 2010

Ini tentang Bapak…

“kamu pacaran sama siapa lagi?”
“hehe..”
“haah, pacar kok ganti bolak-balik”
“biarin, khan masih muda..”
“udah, sekolah yang sungguh-sungguh. Jangan pacaran dulu. Berteman boleh..”

Saya ingat pembicaraan itu. Pembicaraan antara saya dan Bapak ketika malam itu mobil kami melintas di jalan Darmo, Surabaya. Saat itu saya masih duduk di bangku SMA, kelasnya saya lupa. Bapak diam-diam rupanya menyimpan kebingungan dengan kedatangan beberapa teman lelaki yang berbeda ke rumah beberapa bulan terakhir. Bulan ini si A, bulan besok B, dan selanjutnya si C. Maka saat kami sedang berdua, Bapak menyampaikan keresahannya. Saat itu saya agak malu tapi kesal juga diingatkan Bapak. Namun belakangan saya tahu makna pembicaraan malam itu. Makna menyeluruh maksud saya, bukan hanya untuk kasus itu saja..
Bapak, lelaki di dunia ini yang tak akan mengkhianati saya..
~
Saya dan Bapak punya hubungan yang dekat. Di mata saya bapak adalah orang yang sabar. Bukan berarti bapak tidak pernah marah, terkadang beliau adalah orang yang keras kepala dan teguh pada pendiriannya. Jika sudah emosi, bapak juga tak jarang mengeluarkan suara keras. Ah, saya kesal mengingatnya kalau sudah begitu. Tapi sekali lagi jika harus menggambarkan sosok bapak, bagi saya ia tetap sabar.
Wajah bapak saya lonjong dan tirus, kulitnya putih dan matanya sipit. Banyak orang mengiranya orang keturunan padahal bukan. Bibir bapak tipis dan hidungnya mancung. Giginya kecil-kecil berderet rapi. Itu yang yang saya bisa deskripsikan tentangnya. Di antara semua putrinya, banyak yang mengatakan saya adalah anak yang wajahnya paling mirip dengan bapak. Wajah saya nurun dengan garis keluarga bapak di Madiun. Jadi jika kami jalan berdua mungkin orang akan berpikir saya dan bapak adalah teks asli dan foto copy-nya. Hahaha..
Saya tidak mengumbar cerita tentang hubungan pribadi saya dengan pacar atau teman pada bapak. Kalau diceritakan semua mungkin saja bapak akan pingsan karena saya ini badung bukan main. Kami lebih dekat untuk diskusi, cerita pekerjaan, membicarakan masalah keluarga dan juga hal-hal ringan lainnya. Dulu kami sama-sama suka nonton bola, dulu kami juga pernah nonton bioskop bareng, pernah juga kami hunting makanan berdua.
Mungkin karena bapak dokter dan sedikit banyak tahu ilmu psikologi, bapak memahami betul bagaimana perkembangan dan perubahan kedewasaan saya. Saat saya kuliah, saya sudah freelance menjadi presenter di tv lokal. Salah satu tugas saya adalah shooting di luar kota. Ibu melarang saya untuk melakukan hal itu karena khawatir. Namun tidak begitu dengan bapak. Bapak lebih main logika, kalau tugas ya tugas. Bapak memberikan saya kepercayaan untuk melakukan pekerjaan itu. Jadilah saya berangkat dan saya jaga betul kepercayaan yang diberikan itu. Sampai saat ini bapak sudah tak lagi mencampuri banyak urusan saya. Bapak tahu betul porsinya saat ini hanyalah sekedar pemberi pendapat. Keputusan saya yang ambil, akibatnya tanggung sendiri. Saya jauh lebih merasa dihargai dan terkadang itu menuntut saya untuk berpikir matang.
Bapak bukan orang yang mengajarkan segala sesuatunya dengan memberi ceramah. Tingkah laku dan keputusannya lah yang mengajarkan kami anak-anaknya untuk bersikap. Bapak mengajarkan kejujuran, kesederhanaan, nrimo, tidak kenal putus asa, nekad, dan tidak gampang menyerah dengan keadaan melalui caranya sendiri. Bapak tidak memanjakan kami dengan uang dan fasilitas meski saya tahu Ia mampu. Bapak mengajarkan kami kesederhanaan dengan mengingatkan kami bahwa masih ada keluarga kami yang kekurangan dan hal itu tidak bapak tutupi. Bapak mengajarkan kami nekad namun juga tawakal saat bapak berani mengambil resiko operasi by pass jantung. Bapak mengajarkan kami tidak gampang menyerah karena meski bapak sudah sepuh dan pensiun, bapak tetap ingin bekerja dan berarti bagi orang lain. Ah, tak mungkin saya mendaftar apa yang telah bapak ajarkan pada saya karena memang daftar itu terlalu panjang dan masing-masing dari kami lah yang menerjemahkan keteladanan itu semua.
Kemarin bapak datang ke rumah saya di Jatiasih, Bekasi untuk menengok cucu. Malam itu saya meminta bapak untuk jadi imam tarawih. Anda tahu, saat tarawih dengan bapak adalah momen yang berkesan untuk saya. Suara bapak halus, jernih dan terasa sabarnya ketika melantunkan ayat-ayat Al Quran. Pilihan surat-surat pendeknya pun hampir sama dengan ketika saya masih kecil dulu bertarawih. Nada baca surat itu pun lagunya sama persis seperti dulu. Saya tidak bisa mendeskripsikannya lebih detail. Mungkin rasa itu hanya saya bisa rasakan sendiri. Tapi saya syahdu dan damai ketika bapak bertarawih. Malam kemarin saya menebus kehilangan saya tentang sosok bapak belakangan ini.
Dalam benak saya bapak adalah lelaki yang gagah, ubannya hanya selintas di rambutnya, matanya teduh, tangannya perkasa dan kakinya pijak. Tapi agaknya saya harus merevisi lagi gambaran saya..
Bapak sudah sepuh, sepintas ada ringkih bersembunyi di tubuhnya, ubannya sudah mulai menyelimuti rambutnya. Matanya lebih sayup, jauh lebih damai. Senyumnya seperti pengantar tenang. Ia menyimpan rindu sangat pada saya dan Alya. Saya pun menyadari bahwa saya sangat sayang Bapak. Bapak sampai kapan pun tulus berkorban untuk saya..
Sekali lagi ...
Dialah lelaki yang tidak akan pernah mengkhianati saya..
Tak tergantikan..