Sabtu, 21 Agustus 2010

keluar..

tuan..
anda lihat pintu keluar itu?
jelas bukan arahnya dari sini?
dengan hormat,
bisa anda keluar?!

keluar dari kepala saya
keluar dari otak saya
cukup menghantui saya dengan mimpi buruk

cukup kecolongan..
karena saya pikir mudah melupakan anda

rupanya saya salah..

sekali lagi tuan..
ada pintu keluar di sana
silahkan melangkah pergi

saya mohon,
saya pun harus melanjutkan hidup..

Jumat, 20 Agustus 2010

Ini tentang Bapak…

“kamu pacaran sama siapa lagi?”
“hehe..”
“haah, pacar kok ganti bolak-balik”
“biarin, khan masih muda..”
“udah, sekolah yang sungguh-sungguh. Jangan pacaran dulu. Berteman boleh..”

Saya ingat pembicaraan itu. Pembicaraan antara saya dan Bapak ketika malam itu mobil kami melintas di jalan Darmo, Surabaya. Saat itu saya masih duduk di bangku SMA, kelasnya saya lupa. Bapak diam-diam rupanya menyimpan kebingungan dengan kedatangan beberapa teman lelaki yang berbeda ke rumah beberapa bulan terakhir. Bulan ini si A, bulan besok B, dan selanjutnya si C. Maka saat kami sedang berdua, Bapak menyampaikan keresahannya. Saat itu saya agak malu tapi kesal juga diingatkan Bapak. Namun belakangan saya tahu makna pembicaraan malam itu. Makna menyeluruh maksud saya, bukan hanya untuk kasus itu saja..
Bapak, lelaki di dunia ini yang tak akan mengkhianati saya..
~
Saya dan Bapak punya hubungan yang dekat. Di mata saya bapak adalah orang yang sabar. Bukan berarti bapak tidak pernah marah, terkadang beliau adalah orang yang keras kepala dan teguh pada pendiriannya. Jika sudah emosi, bapak juga tak jarang mengeluarkan suara keras. Ah, saya kesal mengingatnya kalau sudah begitu. Tapi sekali lagi jika harus menggambarkan sosok bapak, bagi saya ia tetap sabar.
Wajah bapak saya lonjong dan tirus, kulitnya putih dan matanya sipit. Banyak orang mengiranya orang keturunan padahal bukan. Bibir bapak tipis dan hidungnya mancung. Giginya kecil-kecil berderet rapi. Itu yang yang saya bisa deskripsikan tentangnya. Di antara semua putrinya, banyak yang mengatakan saya adalah anak yang wajahnya paling mirip dengan bapak. Wajah saya nurun dengan garis keluarga bapak di Madiun. Jadi jika kami jalan berdua mungkin orang akan berpikir saya dan bapak adalah teks asli dan foto copy-nya. Hahaha..
Saya tidak mengumbar cerita tentang hubungan pribadi saya dengan pacar atau teman pada bapak. Kalau diceritakan semua mungkin saja bapak akan pingsan karena saya ini badung bukan main. Kami lebih dekat untuk diskusi, cerita pekerjaan, membicarakan masalah keluarga dan juga hal-hal ringan lainnya. Dulu kami sama-sama suka nonton bola, dulu kami juga pernah nonton bioskop bareng, pernah juga kami hunting makanan berdua.
Mungkin karena bapak dokter dan sedikit banyak tahu ilmu psikologi, bapak memahami betul bagaimana perkembangan dan perubahan kedewasaan saya. Saat saya kuliah, saya sudah freelance menjadi presenter di tv lokal. Salah satu tugas saya adalah shooting di luar kota. Ibu melarang saya untuk melakukan hal itu karena khawatir. Namun tidak begitu dengan bapak. Bapak lebih main logika, kalau tugas ya tugas. Bapak memberikan saya kepercayaan untuk melakukan pekerjaan itu. Jadilah saya berangkat dan saya jaga betul kepercayaan yang diberikan itu. Sampai saat ini bapak sudah tak lagi mencampuri banyak urusan saya. Bapak tahu betul porsinya saat ini hanyalah sekedar pemberi pendapat. Keputusan saya yang ambil, akibatnya tanggung sendiri. Saya jauh lebih merasa dihargai dan terkadang itu menuntut saya untuk berpikir matang.
Bapak bukan orang yang mengajarkan segala sesuatunya dengan memberi ceramah. Tingkah laku dan keputusannya lah yang mengajarkan kami anak-anaknya untuk bersikap. Bapak mengajarkan kejujuran, kesederhanaan, nrimo, tidak kenal putus asa, nekad, dan tidak gampang menyerah dengan keadaan melalui caranya sendiri. Bapak tidak memanjakan kami dengan uang dan fasilitas meski saya tahu Ia mampu. Bapak mengajarkan kami kesederhanaan dengan mengingatkan kami bahwa masih ada keluarga kami yang kekurangan dan hal itu tidak bapak tutupi. Bapak mengajarkan kami nekad namun juga tawakal saat bapak berani mengambil resiko operasi by pass jantung. Bapak mengajarkan kami tidak gampang menyerah karena meski bapak sudah sepuh dan pensiun, bapak tetap ingin bekerja dan berarti bagi orang lain. Ah, tak mungkin saya mendaftar apa yang telah bapak ajarkan pada saya karena memang daftar itu terlalu panjang dan masing-masing dari kami lah yang menerjemahkan keteladanan itu semua.
Kemarin bapak datang ke rumah saya di Jatiasih, Bekasi untuk menengok cucu. Malam itu saya meminta bapak untuk jadi imam tarawih. Anda tahu, saat tarawih dengan bapak adalah momen yang berkesan untuk saya. Suara bapak halus, jernih dan terasa sabarnya ketika melantunkan ayat-ayat Al Quran. Pilihan surat-surat pendeknya pun hampir sama dengan ketika saya masih kecil dulu bertarawih. Nada baca surat itu pun lagunya sama persis seperti dulu. Saya tidak bisa mendeskripsikannya lebih detail. Mungkin rasa itu hanya saya bisa rasakan sendiri. Tapi saya syahdu dan damai ketika bapak bertarawih. Malam kemarin saya menebus kehilangan saya tentang sosok bapak belakangan ini.
Dalam benak saya bapak adalah lelaki yang gagah, ubannya hanya selintas di rambutnya, matanya teduh, tangannya perkasa dan kakinya pijak. Tapi agaknya saya harus merevisi lagi gambaran saya..
Bapak sudah sepuh, sepintas ada ringkih bersembunyi di tubuhnya, ubannya sudah mulai menyelimuti rambutnya. Matanya lebih sayup, jauh lebih damai. Senyumnya seperti pengantar tenang. Ia menyimpan rindu sangat pada saya dan Alya. Saya pun menyadari bahwa saya sangat sayang Bapak. Bapak sampai kapan pun tulus berkorban untuk saya..
Sekali lagi ...
Dialah lelaki yang tidak akan pernah mengkhianati saya..
Tak tergantikan..

Rabu, 18 Agustus 2010

titik air hujan

Kau ..
Tak lebih seperti titik air hujan
Yang memeluk kaca jendela
Dan keberadaanmu akan luruh begitu saja
Karena ada titik air yang lain menggusirmu

Kau..
Tak mampu menjawab semua pertanyaanku
Betapa pun kau telah mencoba memahamiku
Ada ruang kosong yang tertinggal
Hampa tak terisi jawabmu

Kau..
Jangan lagi hadir di sini
Begitu juga dengan titik air hujan yang lain
Jika belum mampu mengertiku
Hanya menggurat kecewa
Terlampau tinggi angan terbang

Kau..
Hanya melukis cerah pada guratan pertama
Selebihnya kuas suram kau sapukan ke jiwa
Hanya menyisakan kecewa

Kau..
Gantung aku dalam tanya
Terapung aku dalam rindu
Tak pasti yang tak berkesudahan

Kau..
Hanya sepenggal kisah dan cerita
Tak ingin kuteruskan
Kuhindari untuk dikenang

Kau..
Titik air hujan yang memeluk kaca
Betapa pun kau berusaha di sana
Namun jika kau tak sepenuh jiwa
Aku merasakan kau tak lama ada

Meluncurlah kau ke bawah
Pias dan lantak hantam tanah
Berikut cerita kita..

Jalan sendiri

Aku hendak berbicara
Ini persoalan tentang kita
Yang selama ini kutahan
Dan bagaimanapun harus kuungkapkan

Kurasa kita tak lagi berjalan seirama
Tak lagi padu langkah
Terlalu banyak cerita pedih
Terlampau lebih murka

Nyatanya terlalu jauh harapan untuk diraih
Tak selaras kita bicara

Apa yang jadi mauku,
Adalah penolakanmu
Apa yang jadi inginmu,
Adalah ketidaksesuaianku

Sudahlah..,
Lelah jika harus mengurai satu demi satu pertikaian
Muram jika mengenang perbedaan paham
Perih jika harus mengingat lagi pertengkaran
Mata itu, tatapan itu, amarah itu..

Maka kutanya padamu
“akankah terus kita satu perahu?”
Kurasa jika kita jujur dan berlogika
Aku dan kau punya jalan sendiri

Minggu, 15 Agustus 2010

Aku kisahmu...

Tengoklah ke belakang...
Kan kau dapati namaku dalam sejarah hidupmu
Nama yang pernah terukir dalam hati
Mungkin masih kau kenang..
Mungkin pula sudah kau koyak

Aku pernah menjadi kisahmu

Sejauh apa pun kau lari
Sesinis tatapan mata itu
Seacuh tubuhmu

Sekali lagi, aku pernah menjadi kisahmu

Sama sama kita pernah manis
Sama sama kita larut dalam tangis
Sama sama kita telah berjuang lawan terjal
Hingga sama sama kita jatuh tak putihkan hitam

Dan kini,
Aku punya warna, kau juga punya irama sendiri..
Kita terengah dengan lirik perpisahan
Aku memandangmu dari sini
Tak ingin ku menarikmu kembali
Aku benci harus mengakhiri seperti ini...


Tapi..
Aku kisahmu..


[[end]]

Sabtu, 07 Agustus 2010

Murung

Malam ini dalam perjalanan pulang ..
Kusaksikan bulan menggantung di pelataran langit hitam
Belum bulat sempurna, masih ada sebagiannya gelap
Kutangkap ada pesan.. bulan malam ini murung..

Maka tampaklah sinarnya muram
Tak ada gairah, tak ada marah, tak pula damai
Bulan hanya menjalankan tugasnya, tanpa nama
Hanya berbekal resah

Maka aku sekenanya mendampingi bulan
Kutanya kenapa malam ini ia lara
Makin redup cahayanya,
Makin mengiris jiwa

Tak bisa kupaksa bulan malam ini gagah sebagai penguasa malam
Ia tak ubahnya pria yang terluka

Selamat malam..
Maaf tak bisa ku hapus dukamu
Beristirahatlah..
Tak lama lagi tugasmu berganti matahari..

Tapi janji..
Besok bertemu kembali..
Jangan murung, sayang.

Tak Menggugat Sempurna

terkadang manusia tersesat
tak tahu arah pulang
dan berjejal dengan kepura-puraan
lalu hampa sendiri

terkadang manusia sendiri
tak tahu kemana harus bersandar
menaruh punggung tak kunjung tegak
tak selamanya kokoh…

berdamai dengan masa lalu
ada nyaman di sana
tak perlu ku menjadi matahari
karena ia akan menerimaku meski hanya bintang

tak perlu ada yang kututupi
karena akan menerima apa adanya
tak akan menggugat sempurnaku
ia tahu lemah kurangku

aku pulang ke rumah
aku beranjak ke hangat asal muasalku
aku disadarkan sejatinya jiwa
aku tanggalkan resahku..

selamanya aku di sini..
tak ingin menggurat resah
tak ingin hilang lagi
aku kenal dia..

aku pulang…

[[end]]

Super Mom??


            Saya selalu terkesima dan takjub tiap kali melihat foto sosok selebriti wanita Hollywood yang ada di halaman majalah life style sedang menggendong atau menggandeng putra/putri kecilnya. Sebagian besar digambarkan di situ, sang ibu sedang mengenakan pakaian modis lengkap dengan kacamata hitam lebar, tas besar di bahu kanan, dan sang anak menggelayut di bahu sebelahnya. Terkadang mereka hanya berjalan berdua namun tak jarang lengkap dengan sang ayah yang juga dari kalangan selebriti. Pokoknya keren deh!! Dan selalu ada selipan kalimat : “She is super mom..”
            Super mom.., ya super mom..

~
            Belakangan ini saya merasa bahwa waktu untuk Alya terasa sangat mahal. Tidak ada yang berubah dengan jadwal jam kantor semua masih sama dan rasional, 9 jam/hari. Namun ini lebih pada respon Alya yang mulai beranjak besar dan sadar tentang keberadaan mamanya. Jika beberapa bulan yang lalu ia lebih konsen dengan Baby TV dan Telletubbies ketika mamanya berangkat kerja maka tidak dengan sekarang. Ia akan mengikuti hingga mobil saya keluar garasi dan menantikan pintu penumpang depan dibuka. Si manis ini rupanya ingin ikut ibunya bekerja. Sesekali jika waktu tidak terlalu mepet saya sempatkan untuk mengajaknya putar kompleks rumah, namun lain waktu saya harus acuhkan permintaannya itu. lalu apa yang terjadi? ia akan menangis, air matanya membasahi pipi gembilnya, matanya memerah, suaranya meronta. “Jangan nangis dong, Alya. Mama khan mau kerja cari uang buat beli susu sama biar Alya mandi bola lagi besok…”. Bujukan itu tak mempan, ia tetap menangis. Dan dalam perjalanan ke kantor, teguh saya luluh dan berujar dalam hati…”tega benar saya ini…”.
            Pulang kantor juga akan ada aksi susulan. Jika si Ita, baby sitter membuka pintu garasi maka tak lama kemudian Alya dengan langkah tunak-tunuk-nya akan mengikuti dari belakang. Ia akan memamerkan senyumnya dan tangannya akan memeluk kaki saya tanda ingin minta digendong. Namun ketika saya ajak masuk ke rumah, Ia menangis. Manis saya ini agaknya ingin diajak jalan-jalan. Mungkin ia bosan di rumah terus menerus sepanjang hari, dan kemudian berharap dapat hiburan meski sekedar dengan keliling naik mobil atau mampir ke Indomaret dekat rumah. Sekali saya turuti, namun lain waktu juga tidak.
            Ketika pagi memulai hari, saat Alya masih terlelap usai shubuh saya langsung online khan internet. Sekedar check email, facebook, YM dan menjenguk beberapa situs berita untuk tahu apa yang terbaru. Lalu tak lama ketika Alya terbangun, biasanya saya akan menyambutnya dengan kecupan di pipi dan berkata ”Good morning, cantik.. selamat pagi”. Butuh waktu beberapa menit untuk dia connect dengan sadar dan saya pun kembali konsen dengan internet. Tapi ketika ia mulai menyadari keberadaan saya dan meminta diajak main, saya  justru mengacuhkan atau menanggapi dengan konsentrasi sekenanya. Ah, saya malu sekali menulis pengakuan ini. Tapi saya ingin membuat pengakuan dosa kali ini.
            Maka inilah saya dan Alya.
~
            Pagi ini saya mengajak Alya ke mall. Kami singgah di tempat bermain anak karena memang ini tujuan utamanya. Ada fasilitas arena mandi bola dengan tarif Rp30.000/ jam. Saya tinggalkan alya dan baby sitternya di sana sementara saya dan ayahnya memilih untuk pergi ke toko buku. Sesampainya di toko buku, saya menuju ke bagian buku ibu dan anak. Sebuah buku  merah muda  menarik perhatian saya. Lupa saya judulnya, kalau tidak salah ; ”ayo bercerita..”. Saya buka sekilas halaman demi halaman. Buku itu secara garis besar menegaskan betapa pentingnya bercerita pada anak sebelum tidur termasuk meski anak usianya masih sangat kecil. Saya balik lagi halaman buku itu dan ada beberapa contoh cerita pengantar tidur. Entahlah, tiba-tiba saya terasa tertampar dengan isi buku di tangan saya. Bercerita sebelum tidur? Pernahkah saya melakukannya untuk Alya? Saya rasa iya, tapi sudah lama sekali dan saya hentikan kebiasaan itu karena saya pikir toh Alya belum tahu apa yang saya bicarakan. Tapi bukan itu masalahnya.. saya kemudian tersadar bahwa keegoisan kesibukan saya selama ini membuat melupakan sosok Alya yang seharusnya jadi bintang di hidup saya. Sudah berapa lama saya tak lagi meluangkan waktu berdua untuk ngobrol “serius” dan tak sekedar basa-basi padanya? Sudah berapa lama saya tidak mencurahkan 100% perhatian pada sosok malaikat kecil saya ini?
            Saya terlalu angkuh dan berpuas diri dengan merasa cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Saya dengan sombongnya sembunyi di balik kalimat : “mama pergi kerja cari uang buat Alya..” padahal saya terkadang lupa siapa itu sosok Alya dalam kehidupan hari-hari saya.
            Maka butuh waktu untuk menata hati atas perasaan bersalah yang saya sadari pagi ini. Sebuah buku cerita anak saya bawa pulang dalam kantong belanja dan saya ingin segera menyusul Alya di arena bermain. Menciumnya dan bilang maaf.. maaf yang sangat sungguh.

~
            Saya penuhi janji saya hari ini. Sengaja saya tak online kan internet di rumah hingga Alya terlelap. Selepas magrib, saya ajak dia jalan kaki puter kompleks rumah. Ia berjalan dengan riang dan berceloteh dengan bahasa yang ia tahu sendiri tapi tetap saya tanggapi seakan paham. Ia berjalan meninggalkan saya lalu menunggu mamanya menyusul. Sesekali ia di belakang lalu ketika saya bilang “dada Alya…ayo ke sini…”, dia berlari mengejar dan memeluk kaki saya. Tawanya bersahutan dengan tawa saya. Ia membaca ketulusan saya malam ini.
Sebuah cerita karangan saya tentang “putri mandi bola” menjadi pengantar tidurnya. Ia terlelap dalam senyum.
            Maka malam ini dan malam selanjutnya, saya akan berusaha bacakan cerita pengantar tidur untuknya. Untuk menebus hilangnya waktu kami yang seharusnya mutlak milik bintang mungil saya..
            Semoga seterusnya dan tak lagi saya ingkar…

~
            Ah Alya.., mama memang bukan super mom.. Tapi sayang.., mama akan lakukan yang terbaik untuk Alya,. Tiba-tiba malam ini saya teringat suatu hari di bulan Mei 2008, ketika pertama kali perut saya di USG. Sebuah titik berdetak tampak dalam layar monitor di ruang praktek dokter kandungan. ”Bu Ratna, selamat ya.. Ibu hamil..”. Tangan saya mengelus perut dan pipi saya basah air mata haru..

NB: saya menulis cerita ini saat Alya tidur..
[[end]]

Padi - Harmony