Jumat, 21 Desember 2012
Surat Untuk Alya
Anakku Alya..
Surat ini kutuliskan saat rinduku malam ini begitu membuncah padamu. Rindu yang tak sempat kuungkapkan di sela-sela kesibukan kita sehari-hari. Bangun pagi, memandikanmu, memanaskan mobil, mengantarmu terapi lalu menunggumu atau terkadang harus kutinggal pergi karena mama harus pergi bekerja.. lalu kita bertemu saat malam, ketika matamu sudah redup dan rambutmu basah berkeringat karena menanti mama di ruang tengah.. terima kasih anakku kau sudah terjaga sejenak demi untukku.
Alya anakku.. betapa aku merindukanmu melebihi apapun di dunia ini. Merindukan kita bisa bertatap mata lama dan tertawa. Merindukan kau menjawab apa perkataanku meskipun hanya satu ucap kata saja, satu ucap saja Al. Merindukan kau memelukku, membalas pelukan eratku dan saat itulah bebanku hilang. Merindukan kita berbagi cerita apapun, dan aku menjawab apapun yang kau tanyakan. Apapun anakku…
Alya anakku.., aku ingin menceritakan padamu satu hal. Ini tentang betapa aku mencintaimu melebihi siapapun di dunia ini, Nak. Kenanglah ini setiap saat dan ingatlah bahwa aku ibumu yang merawatmu dengan cinta di tiap jengkalnya. Jika esok ada yang ingin menggantikanku, kuharap kau masih mengingatku bahwa akulah yang terbaik anakku..
Anakku alya.. aku mencintaimu dengan tulus dan tak tiba-tiba, tak juga berpamrih untuk apa-apa. Karena aku adalah ibumu dan aku ditakdirkan untuk menjagamu dan merawatmu kapanpun anakku.. aku membesarkanmu dengan cara-cara yang baik, dan aku ingin mendidikmu sebagai wanita terhormat yang menjalankan kesantunan..
Anakku alya, sayang.. tiap detik aku mencintaimu. Tak ingin aku menggantikanmu dengan siapapun dan aku berjuang untuk itu, Nak. Mama ingin membahagiakanmu anakku meski tak bisa aku memberikan dunia sempurna untukmu. Aku bukan orang yang mencintaimu pada menit-menit pertama lalu setelah bosan akan tak mempedulikanmu dan menyerahkannya pada orang lain. Mama pernah keras padamu, tapi mama tak membencimu dan kasih sayangku adalah pelipur laramu.
Alya anakku.. masihkah kau ingat saat kita menyatu dan mama selalu mengelusmu dengan permohonan doa pada Tuhan agar kau sempurna dan tak diberi kekurangan satu apapun? Doa itu tak sekalipun terputus anakku..
Anakku.., mama merindukanmu sayang..
Besok berjanjilah kau serius terapi, ya sayang..
Jangan menangis lagi.. hanya orang kalah dan penakut yang menangis..
Segeralah bicara ya sayang.. maka sempurna sudah duniaku..
Mama kangen kamu, Al…
Sabtu, 20 Oktober 2012
Perempuan Itu ..
perempuan itu bukan yang kau temui 10 tahun lalu
bukan lemah dan bodoh yang kau bisa kau kebiri haknya
bukan yang selalu ketakutan tiap kali kau marah
bukan keranjang sampah yang bisa kau lempari dengan buruknya perilakumu
ia kini wanita yang perkasa
jauh lebih perkasa bahkan darimu
jauh lebih pintar
jauh lebih kuat dan tegar
bahkan saat kau ingin mendorongnya hingga jatuh
ia mampu membalasnya lebih kuat padamu..
perempuan itu
ia punya harga diri
ia kini bisa berdiri di kakinya sendiri
jangan kau kasihani karena ia tak butuh itu
bahkan semakin kau jauh akan lebih baik baginya
juga untuk anaknya ..
anak yang tergopoh-gopoh kau perhatikan hanya demi mengimbangi simpati
maka berkacalah tuan..,
ini adalah fase memalukan dalam hidupmu
perempuan yang tegap berdiri itu adalah aku..
bukan lemah dan bodoh yang kau bisa kau kebiri haknya
bukan yang selalu ketakutan tiap kali kau marah
bukan keranjang sampah yang bisa kau lempari dengan buruknya perilakumu
ia kini wanita yang perkasa
jauh lebih perkasa bahkan darimu
jauh lebih pintar
jauh lebih kuat dan tegar
bahkan saat kau ingin mendorongnya hingga jatuh
ia mampu membalasnya lebih kuat padamu..
perempuan itu
ia punya harga diri
ia kini bisa berdiri di kakinya sendiri
jangan kau kasihani karena ia tak butuh itu
bahkan semakin kau jauh akan lebih baik baginya
juga untuk anaknya ..
anak yang tergopoh-gopoh kau perhatikan hanya demi mengimbangi simpati
maka berkacalah tuan..,
ini adalah fase memalukan dalam hidupmu
perempuan yang tegap berdiri itu adalah aku..
Kamis, 03 Mei 2012
Sartika
Malam makin larut, hitam gelapnya pekat mencengkram langit. Awan kelabu hanya menyisakan sedikit ruang bagi bulan dan bintangnya bersinar dan semuanya terasa sunyi. Sebuah mobil menerobos jalan di tengah hutan Ngawi dengan mengandalkan terang dari lampu sorot, berjalan dengan kecepatan rata-rata berusaha mencapai tujuan akhir, Magetan Jawa Timur. Seorang wanita berada di kursi penumpang depan menghapus titik-titik air matanya yang luruh sejak tadi dengan sapu tangan, sesekali ia terisak. Ia tak ingin gaduh, namun bagaimanapun nafas tersengalnya kedengaran saat sunyi. Matanya menatap jalan, namun jelas fokus pikirannya tidak di depan. Di kepalanya masih teringat kejadian lima jam yang lalu di Wonosobo, Jawa tengah.
Ia telah meninggalkan salah satu putrinya, Sartika di asrama tuna runggu Dena Upakara. Bocah perempuan berusia sepuluh tahun itu kembali dihadapkan dengan perpisahan dengan ibunya. Ia meraung menangis ketika wanita itu mengecup pipinya dan memeluknya, Sartika memeluk erat tak ingin ditinggalkan. Ia mencengkram tangan ibunya erat-erat ingin ikut namun keinginan itu adalah kemustahilan. Wanita itu melepaskan tangan Sartika, ia melangkah menuju mobil yang akan kembali membawanya pulang. Dari dalam mobil ia melambaikan tangan, Sartika menangis makin keras namun ia tak kuasa berlari mengejar mobil itu. Badan kecilnya ditahan oleh seorang suster berpakaian abu-abu yang merupakan pengasuhnya di asrama. Sekuat apapun ia berontak, ia tak akan bisa lepas. Mobil wanita itu pelahan pergi meninggalkan asrama diiringi tangis Sartika yang makin keras, miris, perih dan menyayat. Ia mencoba untuk berontak sekali lagi, kali ini sekuat tenaga ia lawan tangan suster yang menahannya dan.. ia berhasil lepas. Ia lari mengejar mobil itu...
”debuu...debuuu...debuuu” , ia berteriak sekuat tenaga, mengetuk-ngetuk mobil itu.
Mobil itu tetap melaju. Wanita di dalam bukan tak dengar suara Sartika namun ia teguh hati tak boleh berhenti.
Maka Sartika pun menyerah berlari. Ia duduk di aspal sambil tetap berteriak...
“debuuu...debuuuu...”.
Suster pengasuh mengejar dan memeluknya.. Ia menenangkan Sartika dan membawanya masuk ke dalam asrama Dena Upakara.
Wanita itu bernama Hariningsih, ibuku dan Sartika adalah kakakku. Kakakku Sartika tuna rungu sejak kecil.. ketika ia mengatakan “debu..debu...” sesungguhnya yang ia maksud adalah “Ibu”.
*
Aku masih ingat ibuku pernah bercerita bahwa Sartika, kakakku ketika usia tiga bulan dari telinganya keluar cairan nanah yang berbau busuk. Tak lama setelah itu ibu dan bapakku memeriksakan kakakku ke dokter spesialis THT. Dokter menyatakan bahwa ada gangguan pendengaran di telinga Sartika. Namun apakah masih ada sisa pendengaran atau tidak di telinganya jawabannya masih harus menunggu beberapa waktu ke depan hingga kakakku bisa merespon suara.
Kabar itu jelas meruntuhkan hati ibu kala itu. Ia pun bertanya di dalam benaknya apa sebab Sartika mengalami gangguan pendengaran ini. Ia mereka-reka mungkin karena saat masih kecil Sartika pernah dibawa perjalanan jauh dari Madiun ke Trenggalek. Namun nampaknya kemungkinan itu kecil hubungannya sebagai penyebab tulinya Sartika. Apakah ibuku stress atau mengalami gangguan saat masa kehamilan? Jawabnya juga tidak karena saat itu ia juga tak banyak beban karena masih bekerja sebagai ibu rumah tangga. Makin dicari makin tak ditemukan jawabannya hingga akhirnya ibu memutuskan berhenti mencari sebab musabab itu.
Waktu merambat hingga menambah angka usia setiap orang. Sartika tumbuh seperti anak lainnya namun tanpa pendengaran dan suara dalam hidupnya. Ia tak bisa bicara karena memang ia tak mendengar satu bunyi pun dari telinganya. Maka ia menjadi bocah perempuan yang pemarah dan penangis untuk menyampaikan kemauannya. Mungkin saja ia kesal karena tak seorang pun memahami apa yang ia inginkan. Ia menjadi sangat tergantung pada ibunya, Hariningsih. Bagaimanapun ibunya adalah orang terdekat, paling dekat di kesehariannya yang paling mampu menerjemahkan apa maunya. Namun ibu pun berulang kali menemui jalan buntu jika Sartika memiliki keinginan yang lain dari kebiasaannya. Setiap harinya hidup ibuku dan Sartika tak bisa dipisahkan bahkan untuk waktu sejenak. Saat ibu berada di kamar mandipun Sartika menungguinya di depan pintu, entah mungkin ia takut kehilangan.
Umur Sartika beranjak empat tahun dan saat itu tak ada satu katapun yang mampu ia ucapkan. Ibu mulai dirundung gelisah dengan masa depan putrinya kelak. Bagaimanapun Sartika harus bisa berkomunikasi dengan orang lain dan bisa bersekolah seperti anak lainnya. Mulailah ibu mencari informasi kesana kemari tentang pendidikan bagi anak tuna rungu. Saat itu ibu mendapatkan informasi bahwa di Surabaya ada sebuah Sekolah Luar Biasa untuk anak tuna rungu. Ibu mempelajari metode pengajarannya seksama, salah satunya sekolah ini nantinya akan mengajarkan bahasa isyarat bagi siswa-siswanya untuk berkomunikasi. Satu lagi pilihan adalah sebuah SLB di Wonosobo, Jawa tengah bernama Dena Upakara yang metode pengajarannya mengambil sistem Belanda. Salah satunya adalah dengan mengajarkan anak tuna rungu membaca bibir atau membaca artikulasi dan bukan bahasa isyarat. Ibu menimang dua sekolah tersebut dengan perhitungan yang cermat. Jika Sartika disekolahkan di Surabaya, bisa jadi ia hanya akan mampu menguasai bahasa isyarat yang bisa ia gunakan dengan temannya sesama tuna rungu dan hanya orang sekitar yang mengetahui bahasa isyarat. Artinya tak semua orang nanti akan bisa berkomunikasi dengan Sartika karena tak semua orang memahami bahasa isyarat. Namun dari segi jarak dan waktu, lokasi Surabaya lebih bersahabat bagi Ibu dan Bapak yang saat itu masih berdomisili di Pamekasan, Madura. Sementara sekolah di SLB Dena Upakara, Wonosobo Jawa tengah bisa mengajarkan Sartika belajar membaca bahasa bibir, dengan metode ini Sartika kelak tak hanya mampu berkomunikasi dengan sesama tuna rungu melainkan juga dengan orang normal kebanyakan. Sartika akan belajar membaca bibir seseorang ketika berbicara untuk menangkap kata perkata yang diucapkan lawan bicaranya. Tapi lokasi Wonosobo yang sangat jauh menjadi pertimbangan tersendiri bagi Ibu dan Bapak untuk menyekolahkan Sartika di sana. Mereka tak lagi bisa sering menjenguk Sartika seperti halnya jika Sartika sekolah di SLB Surabaya. bukan perkara mudah untuk memutuskan hal ini, usia Sartika masih empat tahun, usia yang sangat kecil untuk dipisahkan dari orang tuanya untuk waktu yang lama.
Malam itu di ranjang, sebelum tidur bapak dan ibuku memutuskan untuk mengakhiri keraguan.
“Kau ingin Sartika sekolah dimana?”
“Berat memang namun kelihatannya Wonosobo jadi pilihan yang terbaik. Ini demi masa depannya”
“Kau yakin?” Bapak berusaha meyakinkan jawaban ibu.
“Iya. Aku yakin, aku ingin Sartika kelak bisa berbicara dengan semua orang, tidak hanya teman sesamanya yang tuna rungu”
“Kau tahu jarak Wonosobo jauh. Pertimbangkan baik-baik” Bapak kembali menantang Ibu.
“Iya, itulah yang jadi beban pikiranku. Butuh waktu khusus untuk kita menempuh perjalanan Pamekasan Wonosobo, rasanya sehari tidak akan cukup untuk menjenguk Sartika. Belum lagi nanti bensin dan penginapannya”.
“Itu urusan lain, aku akan usahakan itu. InsyaAllah uang praktekku bisa mencukupi kebutuhan itu. Yang paling penting Kau yakin dulu”
“Iya.. Demi Sartika..”
Suasana mendadak hening. Suami istri itu berpelukan, ibu menangis dalam dekapan bapak. Di permukaan ini hanya akan dipandang persoalan tega dan tidak tega namun dengan pikiran jernih ini adalah demi masa depan. Meski keputusannya seorang ibu harus berpisah dengan putrinya yang masih kecil.
Esok dini hari sebuah mobil meluncur dari Pamekasan, Madura menuju Wonosobo, Jawa Tengah. Sartika tidur lelap di dalamnya..
*
Sartika menatap wajahnya pada sebuah cermin, di sebelahnya seorang guru mendampinginya mengikuti pelajaran membaca bibir. Rutinitas yang dilakukan hampir tiap hari di SLB Dena Upakara, Wonosobo. Namun pikirannya melayang ke kabar pagi ini yang ia terima dari suster pengasuh, Suster Miriam.
“Sartika, Ibu dan Bapakmu akan datang sore ini”
Sartika mengernyitkan dahinya sejenak. Ia mencerna kata demi kata yang diucapkan Suster Miriam. Suster Miriam nampaknya tahu bahwa Sartika masih belum menangkap apa yang ia katakan.
“I..bu, Ba..pak akan dat..tang”, ia mengulanginya pelan.
Sartika menatapnya lebih cermat, matanya sontak berbinar riang. Ya, yang ia tunggu akhirnya tiba. Bapak Ibunya akan menjenguknya, sudah sebulan lamanya ia menanti. Selama lima tahun ia tinggal di Dena Upakara, tak pernah sekalipun ia melupakan rindu pada Bapak dan Ibunya. Setiap dua bulan sekali orang tuanya menjenguk ke Wonosobo, belakangan ini jauh lebih sering karena Bapak dipindahtugaskan ke Magetan, kota kecil perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah sehingga jarak yang terbentang tak sejauh sebelumnya ketika keluarganya masih berada di Pamekasan, Madura.
Jumat sore, bel berbunyi di asrama Dena Upakara. Bagi sebagian siswa tuna rungu yang masih memiliki sisa pendengaran, bel itu adalah hal yang sangat dinantikan. Sementara bagi yang tidak maka mereka akan tahu isyarat kepulangan, istirahat dan tanda lainnya dari suster pengajar. Kakakku Sartika termasuk tuna rungu yang tak memiliki sisa pendengaran sama sekali. Meski dibantu alat bantu dengar namun hal itu tak banyak membantunya karena yang ia dengar mungkin hanya gaung di telinga. Itulah sebabnya ia tak begitu suka menggunakannya kecuali di saat tertentu saja. Suster telah memberikan tanda pulang, anak-anak segera mengemasi barangnya yang ada di meja dan memasukannya pada tas masing-masing. Sartika segera semburat berlari keluar kelas dan menghambur dengan para siswa lainnya yang juga ingin selesai sekolah. Pandangannya ia arahkan ke bangku tunggu asrama yang berada di dekat pintu masuk. Benar saja di sana Bapak dan Ibu telah menunggunya.
“Ahh...aaahhh”, suara Sartika girang. Ia berlari sambil melambaikan tangannya.
Sesuai dengan peraturan asrama, Sabtu Minggu adalah hari bebas bagi anak-anak. Sebagian besar siswa di SLB ini berasal dari luar kota dan mereka tinggal di asrama selama masa pendidikan. Jika ada yang menjenguk, mereka biasanya akan menghabiskan waktu bersama keluarganya di luar asrama menikmati suasana Wonosobo yang tentram. Namun jika yang tidak, mereka memilih untuk mengisi liburnya di dalam asrama.
Sartika malam ini akan menginap bersama orang tuanya di losmen sederhana di tengah kota Wonosobo. Rutinitas yang dilakukan setiap kali bapak ibu datang selalu hampir sama. Jika malam tiba, bapak akan mengajak jalan keliling alun-alun sambil memesan wedang ronde. Mobil sengaja ditinggal di losmen dan ketiganya akan berkeliling Wonosobo dengan menggunakan delman. Bunyi ketukan sepatu kuda yang beradu dengan aspal sama hentakannya dengan debar dada Sartika karena ia bahagia bersama orang tuanya. Meski mungkin tak banyak yang bisa ditangkap dari pembicaraan panjang orang tuanya namun Sartika tahu bahwa ia tak lagi sendiri di asrama. Ia masih memiliki orang tuanya yang mencintainya.
Keesokan harinya Ibu akan menggandeng tangan Sartika kembali berjalan-jalan. Selalu tujuannya adalah toko buku dan Sartika akan memilih beberapa kebutuhan yang ia perlukan selama di asrama. Namun entah mengapa selalu saja ibu memiliki kebiasaan untuk membelikan Sartika kertas kado. Mungkin karena kertas kado yang digantung tertata rapi selalu menerbitkan senang bagi siapapun yang melihatnya. Sartika sebenarnya tak butuh-butuh benar kertas kado itu namun ia tetap riang membelinya. Mungkin akan ia simpan jika suatu saat temannya ulang tahun atau untuk sampul buku. Selanjutnya ibu dan bapak akan mengajaknya ke supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan seperti handuk, pasta gigi, sabun atau semua kebutuhan lain yang ia perlukan selama tinggal di asrama itu. Selalu begitu, selalu berulang namun ketiganya tak pernah bosan untuk melakukan hal yang sama ini berulang kembali. Hingga aku lahir dan aku sering dibawa ke Wonosobo menemani ibu bapak menjenguk kakakku, kebiasaan ini tak pula berubah dan aku pun menikmatinya.
Dan hari berganti, ketika minggu sore adalah waktunya bapak dan ibu kembali pulang. Aura sepanjang hari itu berubah muram meski kami berusaha sekuat tenaga melawannya. Bapak mengajak kami kembali berkeliling Wonosobo dengan delman, ibu mengajak kami kembali ke beberapa toko untuk membeli makanan kecil bekal pulang nanti. Namun waktu tanpa permisi merambat menuju pagi, siang lalu sore dimana akhirnya aku, Sartika, ibu dan bapak mengantar kakakku ke asrama Dena Upakara. Sartika menangis di pelukan ibu di mobil, sementara bapak berusaha menegarkan hati dengan tetap menyetir mobil menuju asrama. Sementara aku yang masih kecil merasa suntuk bukan karena harus berpisah dengan kakakku melainkan karena tak lama lagi harus menempuh perjalanan jauh lagi ke Jawa Timur. Kami sudah sampai di asrama, semuanya turun dari mobil. Kakakku melangkah dengan kaki berat, sama halnya dengan ibu yang dalam hatinya tak rela menyerahkan putrinya kembali ke pengasuh asrama. Sementara di pintu masuk asrama sendiri, beberapa suster sudah menanti kedatangan murid-murid yang banyak diantar kembali pulang setelah melewati akhir pekan dengan keluarganya.
“Suster, Ika mau masuk asrama lagi ini”, suara ibu berusaha tegar dengan memberi seulas senyum pada pengasuh asrama.
“Hallo Ika, bagaimana liburannya”, suster tersenyum menyapa Sartika.
Sartika tak menjawab, tangannya masih memeluk ibuku erat.
“Ayo Ika, sudah ditunggu susternya”, ibuku pelahan berusaha melepaskan pegangan kakakku. Di samping ibu, bapak tak banyak bicara hanya tersenyum sambil menata hati karena ia pun sebenarnya tak tega menghadapi momen ini.
“Tidaaakkk mauuu”, suara Sartika berontak. Suaranya agak berat dan terdengar kurang jelas namun kami tahu apa yang ia ucapkan.
“Ayo Ika”, suara suster membujuk namun tenaganya kuat membantu melepas Ika dari ibu. Ibu lalu mencium kening kakakku, bapak melakukan hal yang sama. Mereka lalu memeluknya. Aku tak paham dengan apa yang terjadi sebenarnya. Yang kutahu setelah itu adalah bapak, ibu dan aku masuk kembali ke dalam mobil. Ibu membuka kaca jendela dan melambaikan tangan dengan air mata menetes deras di pipi. Bapak menyetir pelahan mobil meninggalkan asrama dan di pintu masuk asrama kakakku berontak untuk mengejar kami dengan menangis kencang. Tubuhnya dipengangi oleh dua pengasuh asrama yang mencegahnya untuk mengejar mobil kami namun.... tak lama kakakku lolos dari mereka. Ia lari sekuat tenaga mengejar ibu dan bapak.
“debuu...debbbuuuuu....debuuuuu”, suaranya berteriak keras. Aku tahu saat itu kakakku sebenarnya sedang mengucapkan ibu.
~
Pernahkah kau membayangkan bagaimana menjadi tuna rungu? Bagaimana sepinya dunia mereka? Bagaimana mereka menerjemahkan kata demi kata di percakapan bahasa normal untuk diketahui maknanya. Cobalah sekarang kau ambil kapas lalu masukkan ke telinga kanan dan kirimu lalu sumpal rapat-rapat. Sumpal hingga kau tak lagi mendengar suara apapun. Berjalanlah di tengah keramaian, beradalah di sekitar kawan-kawanmu yang sedang bercakap-cakap, beradalah di depan televisi yang suaranya kau rendahkan volumenya. Sepi, hampa, samar, kebingungan, kecurigaan, pertanyaan lalu nihil. Sesepi itulah dunia kakakku, dunia Sartika, dunia penyandang tuna rungu.
~
Sartika akhirnya lulus dari SLB Dena Upakara dan kemudian berkumpul bersama kami keluarga besarnya. Ia lulus setaraf dengan lulusan SMP setelah menempuh pendidikan dasar dan kejuruan di Wonosobo. Ada waktu beberapa bulan lamanya Sartika berada di rumah dan tak melakukan kegiatan apapun dan itu sangat meresahkan ibu yang tak ingin putrinya membuang waktu tak berarti. Tak kusangka ibu merencanakan sesuatu yang berani : memasukkan kakakku ke sekolah SMA normal. Meski bukan sekolah SMA favorit namun ini bukanlah perkara kecil. Bisakah Sartika menyesuaikan dan mengikuti pelajaran seperti teman-temannya yang normal? Bisakah Sartika bergaul dengan mereka dan tidak dikucilkan? Bisakah ia benar-benar terjun ke dunia yang sesungguhnya setelah sekian lama ia berada di lingkungan sekolah tuna rungu?.
Dan ini memang tak mudah. Nilai pelajaran kakakku tertinggal dengan teman lainnya hingga mentalnya jatuh. Ibuku tak putus asa dan mencari jalan keluar lain. Seorang guru les privat didatangkan ke rumah untuk membantu memberi pelajaran pada Sartika. Ia membuktikan kemampuan sebenarnya, ia gadis yang tangguh belajar hingga akhirnya nilainya di ujian terdongkrak. Semua senang, Sartika, ibu, bapak termasuk guru les privat yang berjasa besar membantu kakakku. Beberapa teman yang sempat meremehkan Sartika pun kini lambat laun mendekat dan ia kembali membangun percaya dirinya. Nyatanya tak mudah mempercayai teman jika ia tak tulus. Sartika hanya didekati beberapa kawannya ketika ujian dan nyontek PR setelah itu ia kembali tak dianggap. Beberapa kali aku melihat kakakku pulang dari sekolah dan menangis mengadukan perlakuan temannya. Bapak dan ibu berusaha membesarkan hatinya untuk terus melangkah meski tak mudah. Kenyataan seperti ini adalah pelajaran pertama dan mungkin akan terus berulang. Kenyataan yang mau tak mau harus dihadapi dan tak bisa terus disembunyikan.
Sartika melewati tahun demi tahun dengan langkah tertatih yang berubah menjadi tegap dan tegar. Ia membuktikan bahwa tuna rungu pun bisa berdiri sama tinggi dengan orang normal lainnya jika ada kemauan kuat dan pantang menyerah. Ia kini telah memiliki seorang putra berusia 6 tahun bernama Arkan Rabani Ramadhan, normal dan cerdas. Kakakku yang penyabar kini bekerja menjadi seorang perancang busana di sebuah usaha konveksi. Ia membuktikan bahwa dirinya bisa berdiri di kakinya sendiri sama halnya dengan orang normal lainnya. Dialah Sartika, hasil didikan dari ambisi kuat Ibu untuk menjadikan seorang putrinya menjadi pribadi kuat nan tegar.
Jumat, 13 April 2012
Wishnutama ...
23.00 WIB, Tengah malam di tahun 2007.
Di kamar kos yang sempit, ketukan pintu membuyarkan lamunan sesaat. Saya intip jendela, rupanya teman sekamar saya Putri yang mengetuk. Tak lama ia masuk dan segera saya tangkap kelelahan yang teramat sangat di wajahnya.
“ Capek aku, Mil. Gila tugasnya banyak banget hari ini terus ini masih ada tugas yang harus selesai besok pagi”
“ Suruh ngapain, Put?”
“ Itu suruh koreksi dan kasih masukan kelebihan dan kekurangan program produksi di Transtv. Ya mana aku tahu?”, Putri lalu menghela nafas panjang.
“ Ya wes, ndhang kerja’ no..” (ya sudah cepat kerjakan).
Sejenak Putri diam, suaranya kemudian terisak, “.... Aku nggak betah di Trans. Ini mau cari kerja tapi kok diperlakukan kaya gini. Masa kalau nggak bener ada yang disuruh push up, tadi ada yang disuruh lari keliling air mancur di halaman Transtv “.
“Siapa yang nyuruh Put?” tanya saya agak terkejut.
“ Ada tadi.. Pak Tama”.
Saya tahu orang yang dimaksud adalah Wishnutama, Direktur Operasional Transtv. Tak lama suara Putri tercekat, ia menangis..
Putri adalah teman seangkatan saya di kampus saat kami kuliah di Surabaya. Kami sama-sama bekerja di Transtv, bedanya saya masuk saat tahun 2005 ketika saya masih di bangku kuliah sementara Putri masuk angkatan 2007 saat ia baru lulus. Demi mengirit pengeluaran lalu kami memutuskan untuk kos sekamar dan hidup dengan berhemat maksimal. Untuk anak yang baru masuk di Transtv mayoritas harus mengikuti Broadcast Development Program atau yang sering kami sebut BDP. Saya BDP 5 dan Putri masuk BDP angkatan 7. Sekitar enam bulan kami dibekali ilmu tentang dunia pertelevisian dan juga tugas yang menumpuk dalam pengawasan disiplin tinggi. Salah satu potret yang bisa ditangkap adalah apa yang dialami Putri barusan. Di sini kami yang tidak saling mengenal, beda usia, beda daerah, beda keyakinan, beda disiplin ilmu dilebur menjadi satu kesatuan keluarga satu angkatan. Tidak ada yang lebih pintar, tidak ada pula yang lebih bodoh, semuanya sama.
Saya masuk divisi news dan Putri masuk divisi Produksi. Di divisi Produksi pengawasan langsung dipantau oleh Pak Wishnutama. Namanya adalah salah nama yang legendaris di gedung Tendean. Namanya bersanding sejajar dengan nama Ishadi SK, Direktur Utama Transtv dan Chairul Tanjung, sang owner. Wishnutama, pemimpin yang masih muda dan di anak-anak baru ia juga tersohor karena menerapkan sistem disiplin bak militer. Saat itu hanya itu saja yang saya tahu..
Selama enam bulan mengikuti BDP 5 di Jakarta saya kemudian ditugaskan ke Surabaya untuk menjadi reporter di sana sembari saya diberi kesempatan melanjutkan kuliah. Tahun 2007 setelah lulus, saya ke Jakarta lagi bertugas di Transtv Jakarta. Belakangan saya baru tahu bahwa seseorang yang memerintahkan saya kembali bertugas ke Transtv Jakarta adalah Wishnutama..
*
Desember 2007 saya diberi tugas untuk menjadi salah satu pendukung acara ulang tahun Transtv di JCC. Sehari sebelum acara utama digelar seluruh pendukung acara diharuskan untuk mengikuti gladi resik di lokasi. Tim produksi sudah nyaris sempurna membangun panggung, lighting beberapa kali dicoba dan dikoreksi kembali, audio dites berulang-ulang dan semuanya dikendalikan dari ruangan kecil di bagian atas tempat duduk penonton yang biasa disebut sebagai ruang FOH atau Front of House. Dari atas panggung sepintas saya bisa melihat beberapa kawan dari divisi produksi bekerja di sana dan salah satu dari mereka adalah Wishnutama. Sang direktur operasional tak hanya menginspeksi, ia ambil bagian untuk menangani persiapan acara. Dengan sigap ia pegang kendali, memberi instruksi dan mengkoreksi flow rundown. Dalam hati saya bertanya kenapa harus Pak Tama yang turun langsung?
*
Kenapa saya sekarang menulis tentang Pak Tama? Saya rasa tak banyak momen seperti yang terjadi di April 2012 ketika timbul rasa kehilangan teramat besar saat Pak Tama menyampaikan kabar pengunduran dirinya dari Transcorp. Kabar yang cukup mengejutkan karena sosok Wishnutama seakan takkan bisa terpisahkan dengan perusahaan yang menaungi dua televisi TransTv dan Trans 7. Beberapa tahun berlalu sejak tahun 2007, Pak Tama saat ini mundur di puncak kariernya ketika menduduki jabatan sebagai Direktur Utama Trans Tv dan Direktur Trans 7. Tentu muncul pertanyaan mengapa ia pergi dan kemana ia akan melangkah dengan nama besarnya. Berbagai spekulasi muncul dari beberapa “pengamat dadakan” sesama kawan yang bekerja di televisi tentang Pak Tama. Mereka meramalkan Pak Tama akan ke tv ini, tv itu, bikin tv sendiri, bisnis ini dan itu bla..bla..bla.. Hebohnya kepergian Pak Tama bahkan tak hanya di lingkungan Transcorp namun juga di tv tetangga, seperti TvOne tempat saya bekerja. Beberapa orang memperbincangkannya. Entah apakah di beberapa tv lain juga sama. Saya sendiri tak terlalu tertarik dengan itu namun justru pada cerita lain tentang bagaimana besarnya rasa kehilangan sosok pemimpin di Transcorp. Mengapa harus ada kehilangan seorang Wishnutama? Apa yang istimewa darinya?
Selama saya bekerja di tiga televisi yang berbeda cerita tentang datang dan perginya atasan bukanlah hal baru. Namun yang berbeda adalah apakah kedatangan dan kepergiannya meninggalkan kesan (yang baik) atau tidak. Nyatanya berdasarkan ingatan, hanya sedikit nama yang mampu membekas selebihnya mereka berlalu seperti daun yang dihembus angin. Sedikit yang meninggalkan kesan dan menyisakan kehilangan. Ada pemimpin atau atasan saya yang ketika pergi, saya merasakan kehilangan dan jalan terasa pincang. Ada pemimpin yang saat ia pergi pun rasanya sama saja. Bahkan ada pula yang saat hilang justru “disyukuri” karena selama ini justru menjadi beban. Wishnutama pamit. Kepergiannya tak hanya menimbulkan pertanyaan mengapa dan kemana namun sesuatu yang lebih besar.
Saya dibesarkan di divisi news Transtv (2005-2008). Saya tak banyak berhubungan langsung dengan Wishnutama selama saya bertugas di sana jika dibandingkan dengan kawan-kawan produksi atau teman yang lebih lama bertugas di Tendean. Kendati begitu tiga tahun adalah waktu yang sangat cukup belajar mengenal budaya loyalitas tinggi, perfeksionis, disipilin, respek, kerjasama, kompetisi, hormat pada senior dan solidaritas. Kami sangat anti dengan kesalahan sekecil apapun karena layar kami adalah sempurna. Kami mungkin sesekali mengeluh namun untuk urusan layar kami melakukan segalanya yang terbaik. Pekerjaan bukan hanya ladang penghidupan namun juga tempat untuk menunjukkan seberapa hebat kami berkarya. Semuanya terbentuk tidak dalam waktu instan melainkan berproses dari waktu ke waktu dalam lingkungan kerja. Maka jika dirunut ke belakang saya akhirnya menyadari sistem itulah yang digariskan oleh senior terdahulu para pendiri Trans saat pertama kali terbentuknya Transtv dan berlanjut hingga sekarang. Dan di dalamnya ada otak seorang Wishnutama sebagai salah satu pendiri Transcorp.
Lalu saya kenang kembali memori 2007 tentang push up dan juga seorang Wishnutama di ruang FOH saat di JCC. Itu contoh kecil itu saya renungkan kembali dan akhirnya saya bisa dapat pelajaran besar dari sana. Bahwa kedisiplinan, perfeksionis, mau kerja keras adalah bekal mutlak ketika kita bekerja terutama dalam industri televise. Karya anda disaksikan jutaan orang dan bukan hanya proses bekerja antara anda, teman-teman anda serta atasan. Pak Tama mungkin orang yang mudah marah ketika pekerjaan tidak beres dan mengalami kendala, namun ia tak berhenti di taraf marah. Ia juga mampu memberikan solusi karena ia tahu masalah sebenarnya. Kenapa ia tahu masalah? Karena memang ia memulainya tahap demi tahap sehingga pantang untuk ’diakali’. Pak Tama sedikit contoh dari atasan yang mau turun pangkat mengambil alih pekerjaan yang seharusnya bisa ia delegasikan ke anak buah demi sebuah keberhasilan dan kesempurnaan.
Kehilangan Pak Tama mungkin bukan hanya pada sosoknya namun pada pelajaran dan juga ilmu yang ia bagi pada seluruh anak buahnya. Bukan hanya teori namun juga ia lakukan sendiri..
Good luck,Boss!! Sebuah kebanggan pernah bekerja dengan anda..
[[end]]
Minggu, 25 Maret 2012
Mimpi saya tentang Alya
"ma, aku besok mau pertunjukkan balet"
"emang ul il mau main apa?"
"black swan.."
"dimana kak pertunjukkan baletnya?"
"nanti undangannya ada kok.."
lalu gadis mungil itu tangannya di pinggang, megal-megol genit dengan perut buncitnya..
~
"ma, kita mau kemana?"
"ke gandaria city kak. mama mau beli baju blazer"
"nanti kakak pilihin ya?"
"pasti, makanya mama ajak kakak ikut"
"beli warna pink ma, biar bagus"
"pink ya kak?"
"iyah.."
"oke deh..."
toss.. lalu gadis mungil itu melanjutkan coletehannya padaku tentang teman-temannya di TK. sesekali nadanya agak lebay tapi sesekali ia berhenti karena kehabisan nafas dan ceritanya berlanjut lebih panjang.
~
"kakak kenapa nakal tadi di TK?"
"nggak ma, tadi Dio yang ganggu aku makanya aku pukul"
"jangan dipukul kak. kakak pergi aja nanti temennya pasti juga diam sendiri"
"tapi ma..."
~
"ma, pe er nya sulit"
"mana kak?"
"ini kan hitungan yang kemarin mama ajarin kak?"
"nggak tahu ma..."
~
mungkin saya gila tapi saya rasa saya belum cukup gila untuk terus bermimpi bahwa kelak anak saya Alya akan berbincang dan ngobrol seperti itu. sampai saat ini memang belum ada yang bisa ia utarakan meski barang satu katapun. saya tapi optimis kelak ia akan bisa bicara seperti anak lainnya. saya akan jadi ibu yang paling berbahagia di dunia ini jika esok alya bisa bicara dengan saya. apapun itu akan saya lakukan demi mimpi saya jadi nyata..
sekarang saya memang hanya bisa berkhayal. kadang Tuhan baik sedikit menyelipkan mimpi saat alya bisa bicara tapi itu jadi pelipur lara yang terbaik saat ini.
bismillah ya Allah..
Kau Maha Besar, Maha Pengabul Segala Doa..
Saya ingin alya segera bicara..
amin..
tak ada judul...
Tak ada yang terlalu tua dan terlalu dini untuk cinta
Maka tak ada yang terlalu pagi jika aku menghayal tentang kita
Ketika esok kau dan aku bersama dalam tua
Mungkin rasanya akan berbeda dengan sekarang
Namun kita tetap seirama
Kau harus tepati janji..,
Kita sepakat tinggalkan Jakarta
Maka masihkah kita memegang mimpi yang sama
Rumah di pelosok desa
Dengan halaman luas
Mungkin esok aku akan lebih tua darimu
Aku akan membaca dengan kacamata yang selalu turun di hidungku
Mataku pun tak lagi awas mengamati
Badanku pun tak lagi sekuat sekarang
Dan pasti aku akan langganan sakit masuk angin
Dan kau tetap setia padaku,
Merebuskan kacang dan ubi pengganjal perut
Atau memamerkan setandan pisang hasil kebun belakang
Mungkin juga kau akan komentar dengan politik yang tak berkesudahan
Sementara aku memilih menyimaknya dengan senyum
Kala tua nanti ...,
Kita mungkin berbeda
Namun kita akan makin seirama
Aku mencintaimu selamanya...
Batal Kencan
Matahari makin cepat saja meluncur ke bawah
Aku mulai resah
Pikiranku melayang pada tak kepastian
Seharusnya senja ini aku bersamamu
Rencananya di kepalaku kau ada di hadapanku sekarang
Apa boleh buat
Aku dianugerahi mulut pengecut
Tak berani mengaku
Tak juga bisa bicara jujur
Aku lebih nyaman bersahabat dengan dipendam
Ah sialan..,
Makin cepat saja malam menggeser siang
Senja terlalu singkat
Dan aku mulai mengumpat
Harusnya aku mengajakmu kencan
Dungunya aku, Sayang
Waktu berjalan di sebelahku dengan menghardik pedas
Sebelum kau besok pulang
Pulang ke tempat yang jauh
Mungkin akan lama berjumpa
Dan kita hanya bertukar kabar dengan kata-kata hambar
Ah, seharusnya sekarang kuberkencan denganmu
Menyentuh tanganmu meski hanya sebentar
Dan aku akan menatap matamu yang sering kuhindari
Sialan.., mustahil itu!!!!
Sekarung rindu dan rasa ini bertemu dengan kopi di cangkir..
Larut kutelan pahit-pahit
Kukenang bahwa esok kau tak lagi di sini
Sialan...,
Aku memang pengecut..
Harusnya kuberkencan denganmu sore ini..
Besok kau pergi pagi-pagi
Jumat, 16 Maret 2012
Celengan Minnie Mouse
Bentuknya tabung bulat kaleng setinggi dua puluh centimeter, di sekeliling sisi tabung itu dihiasi gambar dua Minnie Mouse berekspresi ceria nan genit berlatar belakang warna merah jambu berserta pernak pernik manis lainnya. Pada sisi atas tabung itu tertutup cat warna putih polos dan ada segaris lubang tepat di tengahnya. Itulah celengan anakku, celengan kesayangan, celengan harapan, celengan milik Alya.
Celengan itu bentuknya tak ada beda dengan celengan kebanyakan. Seingatku dulu aku membelinya saat belanja bulanan di sebuah hypermarket dekat rumah. Celengan itu tersusun rapi berserta celengan lain kawan-kawan sepabriknya dalam sebuah keranjang besar di tengah lorong terang. Di atas keranjang besar itu tergantung tulisan “OBRAL”. Aku memasukkannya begitu saja ke dalam troli belanja. Pikirku celengan ini bisa untuk mengajarkan Alya menabung sejak kecil. Di rumah memang sering bertebaran uang receh sisa belanja, kadang ada pula uang seribu atau lima ribuan rupiah kembalian uang tol atau parkir yang tertinggal di saku baju. Daripada tak berwujud sesuatu maka mungkin lebih baik uang uang kecil itu ditabung di celengan Minnie Mouse ini agar bisa terkumpul dan berguna di kelak hari. Namun nyatanya celengan Minnie Mouse ini artinya lebih dari itu..
*
“Anak kita autis, Bun” tutur suamiku sore itu. Ia menyampaikan kabar itu hanya beberapa saat setelah aku sampai dari pulang kerja. Pagi sebelumnya Ia memang membawa Alya, putriku untuk diobservasi ke seorang psikolog anak. Alya belum bisa bicara sepatah katapun di usianya yang ke 2,5 tahun. Sebagian orang menilaiku terlalu panik karena sebenarnya biasa anak kecil telat bicara dibandingkan teman-temannya. Namun ada yang berbeda dengan Alya, jika teman seusianya sudah lancar bicara susu, makan, minum, pipis maka seharusnya Alya minimal sudah bisa bicara “u..u, mam, num, pis” namun kenyataannya tidak. Artinya Alya tertinggal jauh dengan kawan sebayanya. Meski suka dengan keramaian anak-anak, Alya juga lebih senang bermain sendiri. Selama delapan bulan seminggu sekali kami mengantarkannya untuk mengukuti terapi bicara pada seorang psikolog anak. Aku pernah bertanya pada psikolog pertamanya apakah Alya autis, namun ia mengatakan tidak. Legalah hatiku ketika itu karena Alya hanya terlambat bicara. Namun ditunggu selama beberapa bulan tidak ada perubahan berarti. Hingga akhirnya suamiku memilih untuk mencari opini kedua dari ahli anak lain dan akhirnya hasil observasi menyebutkan bahwa putriku mengidap spektrum autis.
Kalimat itu sontak membuatku terpukul namun sore itu pula aku seakan tegar dan tak merisaukan hal itu. Suamiku menjelaskan bahwa Alya harus menjalani terapi minimal 6 jam di yayasan tumbuh kembang anak yang dibagi menjadi tiga hari. Aku berpikir apakah artinya aku harus mengundurkan diri dari pekerjaanku? Lupakan itu pasti ada jalan, sekarang aku dan suamiku harus bekerja sama jauh lebih kompak untuk membesarkan Alya yang saat ini memikul tas ransel bernama ‘autis’ itu. Sembari berusaha tegar, pikiranku melayang ketika masa kehamilan Alya. Rasa-rasanya tak ada yang berbeda dan permasalahan berarti ketika itu, suplai makanan bergizi dan susu kehamilan pun tak pernah kurang. Dokter kandungan pun menjelaskan bahwa Alya selama di perut bagus dan normal. Alya hingga usia setahun lebih pun tak ubahnya seperti anak normal biasa. Ia pernah memanggilku “mama” dan ia juga bisa menyanyikan lagi burung kakak tua, cicak cicak di dinding, naik kereta api meski baru huruf vokalnya saja. Artinya tak ada masalah penerimaan atau respon dari putriku Alya. Namun entah mengapa pelahan-lahan memorinya turun dan ia tak lagi bicara. Beberapa spekulasi teman yang pernah mendengar cerita tentang autis menduga ini mungkin ada hubungannya dengan sebuah imunisasi. Namun karena selama ini belum ada penelitian yang membuktikan hal tersebut maka keyakinanku antara ya dan tidak. Tapi sudahlah aku memilih mengakhiri perdebatan ini karena hanya akan menimbulkan penyesalan yang tak juga mengubah keadaan.
Lalu Tuhan menunjukkan jalan yang amat sangat lapang di tengah kabar Alya autis. Atasan di kantor tiba-tiba tanpa kuberitahu justru terlebih dulu memanggilku dan bertanya tentang kondisi Alya. Aku menceritakan semuanya hingga akhirnya aku mengajukan permohonan perubahan jadwal libur. Jika biasanya aku bisa libur Sabtu Minggu maka kini aku membutuhkan libur di hari Selasa dan Kamis. Di hari itulah aku bisa meluangkan waktu untuk mengantarkan Alya terapi. Sementara untuk terapi hari Sabtu, suamiku dengan besar hati yang akan mengantarkan putrinya. Jika ini disetujui selesai sudah masalah pengaturan waktu terapi di yayasan tumbuh kembang untuk Alya. Alya bisa mengikuti terapi seminggu tiga kali selama kurang lebih enam jam. Syukurlah dengan amat mudah kantor mengabulkannya.
Alya sangat disiplin terapi, jarang ia bolos terapi kecuali jika ada kepentingan yang penting sekali atau jika ia sakit. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan aku menyimpan harapan besar Alya bisa segera tertangani dengan baik dan ia beranjak maju dan meninggalkan ‘ransel autis’ itu. Jika sebelumnya putriku tak fokus memandang seseorang jika diajak bicara, pelahan ia mau menatap. Jika sebelumnya ia makan dengan tiduran di kasur, kini ia mau duduk di kursi anaknya selama ia makan. Kebiasaan berputar dan berjalan jinjitpun sudah ia tinggalkan dan jarang ia lakukan lagi. Perhatiannya pada orangtuanya pun meningkat berkali-kali lipat, ia sangat ingin berada di dekatku terus dan selalu haus perhatian. Memang merepotkan namun aku senang karena artinya Ia ada kontak dengan dunia luar dan tak terus sibuk dengan dirinya sendiri.
Namun masih ada yang sangat aku nantikan pada Alya, yakni ia bicara. Aku ingin sekali mendengarnya memanggilku mama, makan, minum dan menceritakan banyak hal apapun itu. Hampir selama delapan bulan terapi, belum ada tanda tanda Alya bicara jelas. Aku beranikan bertanya pada terapis Alya di yayasan tumbuh kembang anak mengapa Alya sampai saat ini belum juga bisa bicara. Terapis itu tersenyum, ia nampaknya paham benar dengan kerisauanku.
“Mama Alya harus sabar. Terapi ini tidak instan membuat Alya langsung bisa bicara. Terapi enam bulan itu perubahannya tipis, tipis sekali dari kondisi awal. Jalan menuju ke sana masih panjang.. kalau rutin pasti bisa...”.
Terapis itu lalu menjelaskan beberapa pasiennya yang terdahulu dan yang saat ini sedang ia tangani. Ada yang mulai bisa bicara pada saat usianya lima tahun ke atas, namun ada pula yang usia di bawah lima tahun sudah mulai bicara. Intinya perkembangan tiap anak berbeda.
“Alya harus fokus dulu, ini yang terpenting. Sekarang fokusnya masih lari-lari. Kalau dia sudah fokus baru nanti beralih ke terapi bicara. Terapi bicara adalah terapi yang nomor kesekian Mama Alya, yang penting fokus dulu”.
Aku mengangguk dan memahami penjelasan itu, sekali lagi saat itu hal ini tak banyak merisaukanku. Nampaknya ketika itu stok optimisku sedang banyak banyaknya. Namun apakah stok optimisku selalu penuh? Nyatanya tidak..
Namun sekuat apapun aku tegar nyatanya air mata tak bisa terus ditahan agar tak jatuh. Beberapa kali aku menangis, bukan menangis menyesali kondisi Alya namun aku rindu..rindu sekali mendengarnya bicara. Sepatah kata saja adalah hujan yang menyejukkan panas sekian lama yang ada di dada. Sore itu seorang anak perempuan seumuran Alya datang ke sebuah warung sea food dekat rumahku. Mereka duduk tepat di sebelahku. Tak lama setelah memesan makanan, sang anak perempuan ini mulai tak sabar.
“Kenapa pesananannya gak datang-datang?”
“Iya dik masih dimasak sama mamasnya”, Ibunya menjawab..
Aku mendengar percakapan keduanya, pikiranku melayang pada Alya dan bersamaan dengan itu air mataku luruh. Aku rindu putriku Alya di rumah, aku rindu saat ia kelak bisa bicara denganku. Jika saja Alya normal pasti ia sudah ceriwis dan banyak bicara padaku. Dan aku pasti akan jadi teman terbaiknya karena kami sama-sama doyan bicara dan tertawa. Inilah momen pertama yang menyadarkanku bahwa Alya yang memikul ransel autisnya bukanlah perkara yang mudah dan gampang dijalani. Ini akan jadi perjalanan panjang, sangat panjang dan terjal. Selain berpeluh keringat, mungkin akan ada air mata berulang kali luruh dan semangat yang terhempas.
Maka silih berganti momen bersama Alya aku jalani. Kami tertawa bersama namun ada kalanya ada sesak di dada yang harus dihadapi. Alya pernah bermain dengan tetangga teman sebayanya. Anak itu berulang kali mengajak Alya bicara namun Alya tak kunjung menjawab dan kemudian anak itu kesal lalu menjambak Alya dan memukul kepalanya. Alya hanya diam dengan wajah polosnya diperlakukan seperti itu oleh temannya dan sama sekali tak membela diri. Aku yang menyaksikan peristiwa itu segera menarik Alya dan menggendongnya menjauh. Alya yang dipukul diam saja namun rasa terpukul itu justru aku yang merasakannya berkali-kali lipat. Bukan marah pada kawannya tadi tapi aku seakan dibeberkan sebuah layar besar tentang apa yang akan dihadapi Alya dengan autisnya hari ini dan masa mendatang bahwa akan ada banyak yang tak bisa menerimanya dengan segala kekurangannya, bahwa mungkin akan ada teman-teman yang mengucilkannya, mengejeknya dan tak menerimanya. Aku mau tak mau harus sadar tentang itu..
Alya senang sekali dengan mall terutama yang lorong-lorongnya luas. Maka ia akan berlari dan berteriak kencang mengungkapkan dan meluapkan kegembirannya. Senyum dan tawanya akan menghiasi wajahnya jika ia sudah sampai mall. Lalu ia tertawa, berteriak dan berlari lalu...ia sampai pada sebuah ruang luas lalu ia berguling-guling di lantai mall. Sontak semua mata menyaksikan tingkah polah Alya. Ketika Alya masih kecil mungkin tak banyak yang heran dan melihat itu bentuk keriangan anak-anak biasa. Namun Alya sekarang hampir 3,5 tahun dan badannya sama dengan anak-anak seusianya yang sudah tahu bertingkah laku normal dan tenang. Maka kini sebagian orang yang mengamati Alya pun akan tahu bahwa ada yang berbeda dengan putriku ini. Untuk itu aku siap tidak siap harus tegar menghadapi tatapan heran dan pertanyaan di kepala mereka : “ada apa dengan Alya?”.
Sebagai pengidap autis Alya juga harus menjalani diet. Ia dilarang minum susu sapi dan makanan turunannya, ia juga harus berhenti mengkonsumsi terigu. Awalnya aku rasa gampang menjalaninya namun rupanyanya setelah didaftar banyak juga makanan yang harus absen dari Alya. Putri kecilku dilarang makan roti, mie, sirup, gula-gulan, keju, biskuit, bolu, cokelat, wafer, snack dan lain sebagainya. Padahal jika dirata-rata makanan anak-anak yang dijual di pasaran rata-rata adalah berbahan pantangan makanan Alya. Maka pemandangan miris adalah jika Alya menerima bingkisan ulang tahun temannya, ia hanya bisa mendekap bingkisan itu tanpa boleh memakannya. Kasihan sekali wajahnya, ia mungkin bingung mengapa ia dilarang sementara teman-temannya boleh.
Hal paling menyayat hati adalah ketika Alya punya mau namun ia tak mampu menjelaskannya. Ia terlanjur kesal dan marah hingga akhirnya menangis meraung-raung tak karuan. Mungkin jika ia menangis di dalam rumah tak terlalu masalah, namun jika ia menangis di tengah keramaian rasanya sedih ia jadi bahan perhatian orang dan seakan aku sebagai ibunya tak bisa memahami apa mau anaknya sendiri. Namun bagaimana aku tahu, Alya tak bicara sepatah katapun sampai saat ini.
Hingga suatu waktu aku merasa sangat down dan berada di posisi paling nadir dalam hidup. Aku tak yakin bisa membesarkan Alya dengan kondisinya seperti ini. Kuingat-ingat lagi dan mencari penyebab mengapa Alya autis hingga ada sebuah penyesalan besar mengapa tak bisa memutar waktu lagi. Terbayang bagaimana beban dan mendung gelap di waktu ke depan. Hingga akhirnya aku tiba pada suatu titik dimana sampai pada logika berpikir apa artinya kalau aku menangis terus seperti ini? Apa gunanya terus menangis dan seakan menarik semua orang untuk membagi kesedihan yang aku rasakan? Apakah mau terus menuai iba belas kasihan? Kalau itu yang dicari berarti ini aku berdosa pada Alya karena sebagai ibu aku justru tak berbuat apa-apa namun hanya stag berada di posisi depresi. Lalu aku membuat sebuah perjanjian sendiri dalam diriku. Oke, silahkan menangis jika memang ingin menangis karena memang itu manusiawi. Namun jangan bagi pada banyak orang kesedihan itu. Jangan lagi terlalu lama larut dalam duka karena Alya di sana menunggumu. Sejak itu plassss.... beban untuk membesarkan Alya menjadi jauh lebih ringan.
*
Aku merasa apa yang aku lakukan untuk mencoba menanggalkan ransel autis yang terus dipikul Alya belumlah maksimal. Maka suatu hari ketika aku berbicara perkembangan Alya pada terapisnya, ia menyarankanku untuk membawa Alya ke seorang dokter spesialis k tumbuh kembang anak yang biasa menangani anak-anak berkebutuhan khusus.
“Tapi mama Alya jangan kaget ya, dokter itu antre pasiennya lama. Bisa sampai setahun”.
“Oh ya? Memangnya dokter itu metodenya seperti apa?”
“Nanti air seni, pup dan rambut Alya akan diambil dan dibawa ke Amerika untuk diperiksa”
“Gunanya apa?”
“Untuk tahu Alya kadar logam yang ada di tubuh Alya dan Alya alergi makanan apa saja agar gejala autisnya bisa dikurangi. Ada juga obat agar kandungan logam yang mungkin ada di tubuh Alya sebagai pencetus autisnya berkurang”
Aku tak pikir panjang dan tak menunggu lama segera mendaftarkan Alya untuk bisa berkonsultasi pada dokter spesialis kejiwaan anak itu. Sekali lagi Tuhan Maha Baik, pagi itu suster di rumah sakit tempat dokter tersebut berpraktik menjelaskan bahwa Alya hanya perlu menunggu lima bulan agar bisa diperiksa dan diobservasi oleh dokter tersebut. Meski termasuk lama, namun ini harus disyukuri karena pasien lain ada yang menunggu hingga lebih dari delapan bulan sampai satu tahun. Baru lega sejenak, aku menerima kabar lain dari seorang teman yang putranya juga mengidap autis. Jangan terkejut dengan biaya pengobatan dan biaya dokter ini karena jumlahnya nanti akan mahal, sangat mahal. Aku bertanya nominalnya berapa, namun ia tak menyebutkan pasti. Kurasa ia tak menjelaskannya secara gamblang agar aku tak patah semangat namun di sisi lain ia juga mengingatkanku agar bersiap bekal cukup.
*
Masih ada waktu enam bulan lagi untuk membawa Alya ke dokter tersebut. Maka masih ada waktu enam bulan lagi untuk menabung untuk bisa membiayai pengobatan ini. Aku duduk diam di ruang tamu sambil berpikir bagaimana caranya bisa memperoleh rejeki halal untuk pengobatan Alya. Harus bisa dan pasti bisa.
Pandangan mataku terarah pada celengan Minnie Mouse yang kubeli beberapa bulan lalu. Tiba-tiba aku berpikir untuk mulai menabung namun kali ini menabung bukan lagi di bank melainkan dengan cara lama yakni menabung lewat celengan. Semasa kecil menabung lewat celengan terbukti hasil yang didapat jauh lebih banyak daripada di bank karena tak pernah ada godaan diambil lewat ATM. Aku ambil celengan tanggung itu dan aku goncangkan isinya. Masih ringan dan hanya terdengar bunyi uang logam receh ya nyaring. Aku tahu sekarang.., celengan inilah penolongku ...
Aku tahu Tuhan Maha Baik, bahkan teramat baik. Maka Tuhan membagi pintu rejekiku dari berbagai penjuru. Beberapa teman meminta bantuan untuk menjadi moderator atau pembawa acara di event mereka. Sebagaian acara ini berlangsung justru ketika aku selesai kerja atau pada hari libur sehingga sama sekali tak mengganggu jam kerjaku. Bayarannya tak besar karena aku sudah menanamkan niat dalam diriku untuk membantu dan tak lagi hitung-hitungan materi terutama untuk membagi ilmu. Namun dari sinilah doaku untuk Alya terkabul. Tawaran demi tawaran berdatangan.
Dan siang aku memacu kecepatan mobilku untuk segera pulang menuju rumah, aku ingin segera bertemu Alya si malaikat kecil itu. Sebelumnya pagi itu aku menjadi moderator acara mahasiswa di Depok, jaraknya untungnya tak terlalu jauh dari tempat tinggalku. Sesampainya di depan rumah, Alya seperti biasa tersenyum dan tertawa memamerkan gigi mungilnya yang rapi. Ia menarik tanganku masuk ke dalam, aku mengikutinya dengan luapan rasa senang dan juga tak sabar ingin menunjukkan sesuatu padanya.
“Al, sini mama bawa oleh-oleh..”
Aku masuk dan duduk ke dalam kamar, Alya lalu mengikutiku dan duduk di kakiku. Celengan Minnie Mouse berada tak jauh dari kami lalu aku raih dan aku taruh di hadapan Alya. Kukeluarkan sebuah amplop cokelat dari dalam tas, amplop honorku pagi ini menjadi moderator.
“Al, ini tabung ya nak..”.
Amplop itu kusobek tepinya, kukeluarkan isinya berupa lembaran uang lima puluh ribuan, kulipat rapi dan kuserahkan pada Alya. Alya girang dan tertawa tawa, badannya dihentakkan beberapa kali di pangkuanku. Ia menerima uang lipatan itu dan ia masukkan sendiri ke celengan dengan dorongan tangan mungilnya. Satu..,dua.., tiga.., empat... hingga uang lima puluh ribu itu tak lagi bersisa. Putriku tertawa lebar, dan girang entahlah apakah ia tahu tentang apa yang ia lakukan barusan. Ia bawa celengan Minnie Mouse itu mondar mandir di dalam rumah.
Itulah tabungan pertamaku untuk pengobatan Alya, satu dari sekian banyak upaya agar Alya bisa menjauhi gejala autisnya dan tumbuh seperti anak normal lainnya. Celengan Minnie Mouse itu bagiku dan Alya adalah bukan sekedar celengan uang melainkan juga celengan harapan. Satu pot diantara banyak pot lainnya kami menanamkan benih mimpi-mimpi baik agar semuanya terkabul. Kami berdua memupuk harapan agar bisa segera mengapai mimpi kami bisa berkomunikasi selayaknya ibu dan anak lain yang normal. Alya agar esok kelak juga bisa belajar, bersekolah serta berprestasi seperti anak normal lainnya. Jalan memang masih panjang dan kami ingin menapakinya dengan pelahan dalam bahagia dan optimis.
Tuhan Maha Baik bukan?
[[end]]
Seseorang dari Masa Lalu
kepada seseorang dari masa lalu,
apa kabarmu hari ini?
lama kita tak bersua,
pagi itu kau kirim kabar untuk bertemu
bukan perkara mudah melupakanmu
butuh waktu lama untuk mengeringkan luka
pada kenangan lama aku ingin lupa
lalu aku ingin tegar seakan tak apa-apa
hidupku sudah baik-baik saja tanpamu
aku telah menatanya nyaris sempurna
lalu mengapa aku harus menoleh ke belakang?
pada seseorang dari masa lalu penoreh lara
maka maafkan aku siang itu..,
aku tak bisa menemuimu
kirimlah kabar seperlunya
jaga dirimu baik-baik
jaga dirinya baik-baik
kepadanya kau titipkan hidup, bukan padaku
kurasa kau pun tahu apa alasanku begini
karena manusia tak bisa menguasai rasa
lalu pada aksara aku mengaku
wahai seseorang di masa lalu..
apa kabarmu hari ini?
kulipat cerita kita hari ini..
[[end]]
Langganan:
Postingan (Atom)