Rabu, 07 September 2011

Alya, Aku dan Autis ...



Bukan perkara mudah ketika sore itu suami saya menjelaskan bahwa Alya baru saja didiagnosa autis oleh seorang psikiater di Cikarang. Hal itu sebenarnya menjawab pertanyaan saya selama ini mengapa perkembangan komunikasi Alya terpaut jauh dengan kawan-kawan sebayanya. Namun sebenarnya bukan jawaban itu pula yang saya ingin dengar mengenai kondisi Alya.

Saya pedih, saya akui itu. Toh sejak delapan bulan lalu saya mengikutsertakan Alya pada sebuah terapi bicara pada seorang psikolog sebelumnya, saya tahu Alya memiliki kekurangan. Tapi saya saat itu sedang punya semangat yang besar untuk segera menyelamatkan Alya agar tidak terlambat mendapatkan penanganan. Sebuah yayasan tumbuh kembang di Cibubur yang letaknya tak jauh dari rumah mengatur jadwal terapi Alya seminggu tiga kali. Saya berbagi tugas dengan ayahnya Alya, dua hari saya yang mengantar sementara satu hari sisanya ayahnya Alya. Syukur alhamdulillah jadwal kantor bisa disesuaikan, atasan memberi pengertian yang sangat membantu. Di sisi lain sebuah tawaran pekerjaan lain yang cukup menjanjikan terpaksa harus saya tolak mengingat kondisi Alya yang butuh banyak perhatian.

Sebuah buku tentang autis memberikan banyak motivasi pada saya. Bahwa autis bisa ditangani dengan terapi yang dilakukan secara rutin dan dini. Bahwa anak autis kelak bisa tumbuh mengikuti anak normal dan tidak perlu dikucilkan. Autis bukanlah gangguan jiwa, berbeda dengan down syndrome dan lain sebagainya. Saya sangat bersyukur dengan membaca buku ini, ada rasa lega dan optimis yang meletup-letup mengenai kondisi Alya.

~

Lalu hari demi hari berjalan. Saya, ayahnya Alya dan juga seorang baby sitter di rumah sangat antusias untuk menjalankan terapi di rumah. Kami saling bekerja sama satu sama lain. Mulai menyikat tubuh Alya dgn sikat halus, memijat, memasakkan makanan dengan menghindari pantangan anak autis, main puzzle, ayunan, berjalan di rumput dan semuanya..

Satu kali terapis Alya mengatakan bahwa Alya menurut observasinya bukanlah anak autis melainkan lebih ke anak hiperaktif dan lambat bicara. Pernyataan itu sungguh sangat melegakan saya. Rasanya ingin berteriak girang bahwa anak saya tidak autis dan tak lama lagi ia akan bisa sejajar dengan anak normal. Mimpi saya tata kembali. Saya yakin Alya akan jadi anak berprestasi, bisa sekolah di sekolah favorit, punya teman banyak, bisa ikut ekstrakurikuler sesuai dengan bakatnya hingga kelak akhirnya saatnya ia bisa membuat saya bangga..

Seorang sahabat ikut berlega hati dengan cerita saya. Namun belakangan ia kemudian berkata "Saya senang Alya tidak autis tapi lebih baik kita persiapkan mental jika kelak dia memang autis. Kita tetap optimis tapi tidak juga terlalu sakit jika kondisi ke depannya berbeda dengan apa yang kita harapkan". Saya mengangguk, saya tahu itu, dan saya tak mau memungkiri jika kelak memang Alya autis dan bukan sekedar hiperaktif. Seiring berjalannya waktu akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan bahwa dalam penanganannya, saya tidak ingin memberi nama apa yang sedang dialami Alya. Saya tidak peduli dia autis, hiperaktif, telat bicara atau apapun. Karena ini akan mempermainkan emosi dan harapan saya yang bisa melambung tinggi namun ada kalanya bisa down. Yang jelas dan penting saya jalankan terapi sebaik-baiknya.. Sebisa saya..

Dalam perkembangannya apa yang ditunjukkan Alya cenderung menunjukkan bahwa ia adalah autis dan saya sepenuhnya tak mengelak itu. Baiklah kalau memang putri cantik ini autis, kita tangani sama-sama. Saya bisa sangat wise, sabar dan tenang ketika menghadapi Alya. Saya bisa sangat berbesar hati bercerita pada semua orang bahwa ya anak saya Alya penderita autis but she will be fine. Saya bisa tersenyum, tertawa dan juga menertawakan kondisi ini. Saya tidak mau menangis, air mata terlalu mahal untuk jatuh demi kondisi seperti ini.
Tapi saya manusia, saya ada fase lelahnya juga. Kadang persediaan sabar saya habis juga ketika lelah dan menghadapi Alya dengan tingkah ajaibnya. Beberapa kali tangan ini mencubit lengan, paha Alya. Beberapa kali saya berteriak menangis jika dalam kondisi lelah Alya menambah beban pekerjaan saya. Tapi selalu hal ini berujung mengharukan. Alya ketika saya marah justru menangis dan lari memeluk saya untuk minta maaf. Saya terenyuh dan justru makin tersayat karena muncul pertanyaan mengapa Alya baru care ke saya kalau saya sudah emosi? Haruskah komunikasi kami dimulai dengan cara seperti ini dulu baru Alya merasa membutuhkan saya?.

Saat Alya terlelap tidur dia tak ubahnya malaikat kecil yang sangat manis. Saya mendekapnya dan bertanya "Al, kamu ngerti nggak sih Nak kalau Mama sayang kamu? Ngerti nggak sih Nak apa yang mama omongin selama ini? Alya sayang mama nggak sih,Nak?"..

Saya bukan super mom, saya juga bukan malaikat atau peri yang punya stok sabar bergudang-gudang. Tapi memang akhirnya saya sadar bahwa menghadapi Alya bukan sekedar bentuk terapinya saja yang dipentingkan tapi bagaimana kesabaran kita tetap bisa terpompa, konstan terjaga, tidak menurun dan harus bisa menekan emosi.Itu yang sekarang sedang saya pelajari dan memang bukan hal yang mudah. Biasanya pelarian saya adalah dengan berbagi cerita dengan sahabat dan juga menengadah pada Tuhan. Ada kalanya saya butuh waktu sendiri untuk sekedar menenangkan tubuh dan juga pikiran yang penat.

Satu kali saya bertemu dengan seorang Ibu dan juga anak perempuannya yang berusia empat tahun. Sang anak bercerita panjang lebar dengan ceriwisnya sementara sang Ibu menimpali dengan senyum dan beberapa jawaban atas pertanyaan putri kecilnya..

Saya tersenyum dan berdoa.. Semoga kelak saya dan Alya bisa seperti itu. Berbagi cerita..

Alya, Mama sayang kamu Nak...