Sabtu, 03 Desember 2011

"Khusus Undangan"

Akhirnya kabar pernikahan anak lelaki bungsu presiden muncul di media. Setelah beberapa bulan yang lalu prosesi lamaran berlangsung, maka sesuai jadwal tiga bulan selanjutnya beranjak ke prosesi akad nikah dan resepsi perkawinan. Entah seperti apa kerepotan dan panjangnya persiapan pernikahan agung ini. Kalau masalah biaya biarlah ada bagian lain yang menghitung dan mereka-reka berapa miliar habisnya. Yang jelas tiga minggu lagi pernikahanan Abas dan Aulia akan jadi pusat perhatian seluruh negeri.
Bu Mariani duduk di kursi teras depan rumahnya yang asri di Sentul, Bogor, Jawa Barat. Suasananya masih sejuk, semilir angin mengetuk udara pagi itu dan Bu Mariani dengan cerdas menangkalnya dengan secangkir teh manis di meja. Sebuah tabloid wanita yang baru dilempar loper koran dipungutnya dari halaman kemudian dibacanya seksama. Headlinenya edisi kali ini adalah tentang persiapan pernikahan putra presiden, Abas dan calon mempelai perempuan, Aulia. Dibukanya halaman pertama, kedua dan ketiga lalu seterusnya. Sesekali ia betulkan posisi kacamatanya agar bisa lebih jelas membaca. Agaknya ada informasi penting yang telah ia dapatkan dari tabloid. Selanjutnya ia melangkah ke ruang tengah, mengambil spidol di laci meja dan menghampiri kalender yang tergantung di dinding dapur. Tanggal 26 November ia lingkari bulat sempurna, tanggal resepsi pernikahan Abas dan Aulia, putra presiden.
Usianya memang sudah sepuh, 65 tahun namun fisik Bu Mariani masih sehat dan ingatannya kuat. Sudah lama ia menjanda, suaminya Pak Darmono seorang pejabat, meninggal enam tahun lalu karena menderita stroke dan diabetes. Pak Darmono suaminya dahulu adalah menteri keuangan dalam kabinet pemerintahan beberapa periode silam. Saat suaminya menjabat inilah mereka “menabung” tanah luas dan beberapa rumah megah, salah satunya ya rumah asri nan luas di kawasan Sentul yang kini ia tempati. Ia hanya tinggal bertiga dengan Prapti, pembantunya dan Lukman, si sopir. Bu Mar memilih untuk tinggal sendiri meski seorang putranya yang ada di Jakarta sudah berulang kali membujuknya untuk ikut bersama keluarganya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Bu Mariani hidup dari transferan uang pensiunan almarhum suaminya dan usaha kayu peninggalan keluarga yang berada di Jepara, Jawa Tengah. Sesekali untuk membunuh bosan, bu Mariani masih aktif bergabung di arisan istri-istri mantan menteri yang sebulan sekali rutin diselenggarakan di Jakarta atau terkadang luar kota yang biasanya dilanjutkan dengan acara tour. Isu-isu di balik layar tentang rumah tangga para pejabat pun tak pernah absen dari radar pantauannya. Tak jarang kadang jika istana mengadakan acara pengajian atau acara yang melibatkan istri pejabat maupun mantan pejabat, bu Mariani diundang. Intinya ia masih (merasa) eksis di kancah pergaulan ibu-ibu pejabat dan mantan pejabat negeri ini.
*
Pintu kiri lemari pakaian di kamar bu Mar sepintas memang mirip pintu lemari keramat. Pasalnya pintu ini jarang dibuka dan hanya dibuka di saat-saat tertentu ketika bu Mar akan menghadiri acara penting. Deretan baju muslim dan kebaya buatan desainer ternama tergantung rapi di lemari ini. Harganya jelas tidak murah, ada yang hingga belasan juta. Untuk selera bu Mar memang tak diragukan lagi, ia tipe istri pejabat yang tahu betul bagaimana berpenampilan berkelas atas. Baginya penampilan adalah cara penting untuk mengangkat martabat dan menjaga nama baik dirinya sepeninggal suaminya yang telah tiada. Ia tak mau dicap sebagai istri pejabat yang merana dan nelangsa setelah sang suami tak lagi menjabat dan tiada. Toh memang begitu kenyataannya, bu Mar tak pernah kekurangan uang dan namanya disegani di kalangan ibu-ibu pejabat.
Sebuah kebaya brokat coklat keemasan dengan payet bu Mar turunkan pelahan dari gantungan. Payetnya memang hanya melingkar-lingkar di motif-motif tertentu namun itu justru menjadi peanggun kebaya ini. Anda tahukan kadang hiasan payet terlalu ramai justru bikin ‘ndeso’. Siapapun tahu bahwa kebaya ini berkelas dan mewah. Dibaliknya kebaya itu depan belakang, diteltitinya dengan seksama tiap detail kebaya tersebut. Seulas senyum kebanggaan terpancar dari wajahnya menatapnya. Ini kebaya termahal miliknya dan sangat ia sayang dan dieman-eman.
“Prapti....”
“Nggih bu...”, suara Prapti dari ruang tengah terdengar menghampiri bu Mar yang ada di kamar.
“Tolong kamu dry cleankan kebaya ini. Bilang orangnya hati-hati.. iki kebaya larang (mahal)”
”Diagem (dipakai) kapan bu?”
”Kalau bisa minggu ini jadi, arep tak gawe minggu ngarep (saya mau pakai minggu depan)”
Prapti tak banyak bicara, ia ambil dengan hormat dan hati-hati kebaya tersebut dari tangan bu Mar. Ini titah penting bahkan sangat penting, artinya harus segera dilaksanaken maksudnya dilaksanakan..
*
Dua minggu lagi resepsi akan digelar dan bu Mar makin sering mengintip pagar depan rumah. Tiap kali ada orang yang berada di balik pagar, bu Mar menjadi lebih seksama memperhatikan. Tak jarang ia sendiri yang menghampiri untuk menanyai maksud keperluannya padahal sebenarnya tugas itu biasa dilakukan Lukman, sopirnya. Nampaknya memang ada yang ditunggu dan yang dinanti adalah kurir pengantar undangan pernikahan Abas, putra bungsu presiden. Prapti dan Lukman agak terheran-heran dengan tingkah laku sang nyonya besar namun mereka hanya bisa menebak-nebak sendiri tentang kegalauan bu Mar.
”Prapti..”
”Inggih bu?”
”Kebayaku wes (sudah) diambil dari laundry?”
”Sampun (sudah), sudah saya gantung lagi di lemari
" Ya wes nek ngono. Prap, kamu sama Lukman sering ngawasi kalau ada orang nganter undangan ya ? Nek ada undangan resepsi nikah segera kabari.. "
"Baik bu.."
Lalu waktu berjalan merambat namun mengguratkan keresahan pada dada bu Mar karena sudah sepuluh hari ia menanti tibanya undangan perhelatan agung tersebut. Dalam hati ia mengkritik buruknya kerja kurir pengantar undangan yang dipilih istana mengapa undangan untuknya belum juga sampai. Lalu kemudian spekulasinya berkembang jangan-jangan pihak rumah tangga istana salah ketik alamat undangan untuknya atau mungkin tidak update alamat rumahnya di Sentul dan dipikir bu Mar masih menempati rumah di kompleks menteri di Widya Candra, Jakarta. Tapi rasanya tidak mungkin karena selama ini undangan-undangan acara lain bisa sampai sempurna ke rumahnya. Lalu apakah pihak istana lupa mengundang bu Mar ? Rasanya juga tidak biasa dan baginya kemungkinan terakhir ini kecil sekali. Bagaimana mungkin istana tak mengundang orang penting seperti dirinya, ingat jasa almarhum suaminya yang dulu jadi menteri keuangan dua periode dalam kabinet !!. Rasanya mustahil.
Diangkatnya gagang telefon dengan perasaan berat. Tapi rasanya keresahan di dalam hati bu Mar harus segera mendapat jawaban. Tak terasa perhelatan resepsi pernikahan agung tinggal tujuh hari lagi dan bu Mar harus memastikan apakah ia memang diundang atau tidak. Kalau iya mana undangannya, kalau tidak mengapa ia sampai tak diundang. Dipencetnya tombol nomor telefon yang sudah ia sangat hafal, sekian detik kemudian di ujung sana suara dering telefon rumah bu Wahyuni berdering. Bu Wahyuni, istri mantan menteri kehutanan yang menjabat pada periode yang sama dengan pak Darmono.
"Hallo, bisa bicara dengan jeng Wahyuni ?"
"Iya, saya sendiri. Ini siapa ? Mbak Maryani ?"
"Lho masih inget suaraku tho Dik?"
"Iya, wes suwi mbak Mar iki nggak telefon. Ono opo mbak?"
"Dik Wahyuni apa sudah terima undangan resepsinya Abas?"
"Sudah mbak, seminggu yang lalu. Mbak Mar yo diundang tho?"
"Ohh..engh..Iya dik aku yo diundang", Bu Mar agak gugup mengatur jawabannya.
"Terus kenapa mbak? Mbak Mar mau rawuh (datang) sama siapa?"
"Eee anu paling ya sama Panji, anakku. Ya wes Dik nek ngono, mengko tak sambung maneh ya (ya sudah kalau begitu nanti saya sambung lagi)"
Telefon berakhir dengan tanda tanya di kepala bu Wahyuni di ujung sana sementara bu Mar merasakan kebingungan tak berujung. Dipandanginya foto besar dalam figura ukiran keemasan yang tergantung di dinding di hadapannya. Foto bu Mar bersama almarhum Pak Darmono yang tersenyum gagah dan berwibawa sementara dirinya berada di samping kiri tersenyum penuh keanggunan. Diingatnya masa suaminya ketika masih menjabat sebagai menteri keuangan adalah masa keluarganya berjaya di posisi atas. Betapa banyak kemudahan dan juga ‘rejeki’ yang menghampiri keluarganya karena baik suaminya maupun bu Mar sangat dekat dengan keluarga presiden. Lalu masa pemerintahan berganti hingga akhirnya pak Darmono bukan lagi siapa-siapa dan tak lagi duduk di kursi menteri, bu Mar meneguhkan prinsip pada keluarganya bahwa harkat dan martabat keluarga harus dijaga sampai mati. Jangan sampai keluarganya jadi tertawaan keluarga pejabat lain ataupun rakyat kebanyakan karena tak lagi menjabat ataupun makmur. Lalu saat ini mewujudkan visi misi itu adalah dengan cara memperoleh undangan resepsi Abas Aulia. undangan itu meski hanya selembar berjuta maknanya dan salah satu makna pentingnya adalah keluarganya masih dianggap sebagai keluarga terhormat dan penting di negeri ini. Kalau sampai tidak, ini tamparan keras bahkan teramat menyakitkan.
Pergulatan batin demikian hebat terjadi di dada bu Mar. Ia ganti menelfon anak sulungnya Panji.
"Nji, Ibu nggak dapat undangannya Abas"
"Mungkin belum diantar Bu", jawab Panji enteng.
"Nggak Nji, ibu nggak dapat. Ibu tadi wes telefon bu Wahyuni, bu Wahyuni bilang sudah dapat seminggu lalu. Iki mesti ibu nggak diundang. Kalau diundang harusnya undangannya wes nyampe"
"Ya sudah Bu, memangnya kenapa? Malah enak tho Ibu nggak perlu nyumbang-nyumbang, desek-desekan. Itu nanti yang datang rame Bu", jawab Panji sekenanya. Ia mewarisi sikap bapaknya yang cuek dan agak ceplas-ceplos, sifat yang justru kebalikan dari bu Mar yang perfeksionis.
"Eh Le kok iso lho kamu ngomong gitu. Penting itu Le undangan itu. Ini masalah martabat,Nji. Iso isin sak keluarga kalau kita nggak diundang .......", bu Mar berbicara panjang lebar tentang harkat martabat dengan rincian detail sedetailnya nan njlimet. Panji hanya mendengar sekenanya namun Ia baru sadar bahwa ia salah melemparkan pernyataan sensitif tentang undangan tadi pada ibunya. Ah jelas saja, Panji anak sulung yang amat mengenal sifat ibunya dan ia tahu betul untuk persoalan yang satu ini sang ibu tak bisa diganggu gugat.
"Ya sudah Ibu kerso(mau) nya apa?"
"Kamu coba carikan undangan Abas, harus iso dapat. Ibu iso isin Le kalau sampai nggak datang ke acara itu"
"Buat apa Bu ? Buat ibu ? Lha kalau memang tidak diundang ya gimana ?"
"Kudu iso pokoke,Nji. Buat Ibu undangannya biar bisa datang ke resepsi..", bu Mar bertutur penuh penekanan.
"Ha?", Panji berteriak kaget, badannya lemas namun tak kuasa menolak. Jika suaranya sudah begitu artinya ini titah penting dari Ibunda dan seperti biasa bisa panjang urusannya jika menolak.
*
Tinggal tiga lagi. Pemantauan pada pagar rumah Sentul tak kendur. Siapa tahu kurir yang terlambat mengantar undangan yang dinanti tiba. Jika tidak, bu Mar masih punya harapan terakhir yakni Panji, anak sulungnya. Selama ini Panji tak pernah mengecewakan jika diberi kepercayaan mengemban tugas dan bu Mar berdoa siang malam agar anaknya diberi 'petunjuk' untuk mendapatkan undangan resepsi pernikahan sang anak presiden yang tinggal sehari lagi. Maka benar adanya ungkapan bahwa manusia tidak boleh patah semangat apapun yang terjadi karena Tuhan bisa mengatur banyak jalan untuk mengabulkan doa umatNya. Rabu pagi telefon rumah bu Mar berdering.
"Bu, undangannya sudah dapat"
"Lho kok iso, Nji ?" suara bu Mar senang bercampur kaget.
"Sudah Bu pokoknya sudah dapat" Panji menjawab pendek dengan menyelipkan nada kesal bin datar.
Percakapan telefon tak berlangsung lama dan perasaan bungah bu Mar tak terkira meledak-ledak di dadanya. Persiapan selanjutnya adalah memastikan penampilan terbaiknya di acara resepsi mantu presiden yang tinggal sebentar lagi.
Sementara Panji di Jakarta menggeleng tak habis pikir dengan sifat ibunya yang tak kunjung berubah. Sifat ibu tercintanya tak kunjung bisa menerima kenyataan bahwa masa keemasan keluarganya telah berlalu dan memang saat ini mereka adalah keluarga biasa yang wajar jika luput dari perhatian keluarga presiden. Memangnya siapa ?
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Telefon sekretaris pak Dirut selasa malam kemarin sungguh tak terduga. Panji diminta mewakili pak Dirut yang tengah sedang berada di Eropa untuk hadir di resepsi Abas Aulia. Bukan pertama kali memang Panji yang menjabat sebagai Direktur sebuah BUMN yang bergerak di bidang perkebunan diminta mewakili Direktur utama pada beberapa kesempatan ketika pak Dirut berhalangan hadir. Namun acara mewakili yang biasanya jadi beban kali ini justru adalah anugerah tak terkira bagi Panji. Sudah berhari-hari ia putar otak kanan kiri untuk mendapatkan undangan ini, eh ndilalah (kebetulan) kok ya bisa dapat. Rabu pagi sopir dirut telah mengantarkan undangan itu ke rumah Panji dan masih kondisinya masih terbungkus rapi di plastiknya. Saking senangnya Panji menyuruh Ika, pembantu yang baru bekerja seminggu di rumahnya untuk menjamu sopir pak dirut sebaik mungkin.
*
Hari besar telah tiba. Sabtu sore nanti adalah momen penting tak hanya untuk Abas Aulia namun juga untuk bu Mar. Pagi-pagi ia telah berada dalam perjalanan di tol Jagorawi arah Jakarta. Sebelumnya Prapti pembantunya telah memasukkan beragam perlengkapan ke dalam bagasi mobil kecuali untuk kebaya keemasa mahal belasan juta yang digantungkan di baris kedua mobil.
"Prap, kabeh wes dilebokno mobil ? (semua sudah kamu masukkan ke dalam mobil?"
"Sampun Bu. Sepatu, make up, konde ada di bagasi. Kalau kebaya sudah digantung di dalam mobil"
"Wes yo berarti kabeh (jadi sudah semua ya) ?"
"Ibu menopo ngersake (apa ingin/mau) bawa baju kebaya satu lagi buat cadangan ?"
"Gak Prap. Kebaya iki wes sing paling apik".

Lalu lintas sangat bersahabat pagi itu. Tak butuh waktu lama menjangkau rumah Panji yang berada di Tebet, Jakarta. Panji sudah menanti di teras rumah kedatangan ibunya yang sedang senang. Panji sebentar mengenalkan ibunya pada Ika, pembantu barunya yang masih berusia tujuh belas tahun. Namun perkenalan itu tak lama setelah istri Panji, Ratih mengajak ibu mertuanya masuk ke dalam.
"Nduk, turunkan barang-barang Ibu, yo !. Itu koper ada di bagasi terus kebayanya ada di dalam mobil. Kamu siapkan buat nanti malam karena Ibu mau pakai", Bu Mar lalu melangkah ke dalam. Dua cucunya berebut cium tangan sang nenek. Jika nenek sedang gembira biasanya mereka akan diberi uang saku dan memang Bu Mar sedang gembira.
*
Acara akan dimulai pukul tujuh malam, estimasi perjalanan Tebet-Senayan, tempat resepsi dilangsungkan sekitar satu jam. Jaraknya sebenarnya dekat namun Panji sudah memperkirakan bahwa pasti nanti akan sulit mencari parkir mobil. Bu Mar dan Panji berarti akan berangkat pukul enam sore, setelah magrib. Bu Mar bersiap sejak pukul empat sore. Lidya, seorang penata rambut langganan dipanggilnya ke rumah untuk menata sanggulnya agar tampil memesona. Kalau masalah riasan tangan bu Mar tak kalah dingin dengan perias profesional, ia memilih merias wajahnya yang masih cantik di usia senja itu sendiri. Lidya berbagi cerita tentang kehidupan istri pejabat lain yang jadi langganannya. Tapi berbagi pembicaraan. Sejam berlalu waktu menunjukkan pukul lima sore, rambut bu Mar sudah rapi. Ia menyelipkan tip lumayan untuk Lidya yang membuat tampilannya cantik.
Panji mengisi perutnya sedikit dengan gorengan di meja makan. Tak lama lagi ia akan mengenakan baju batik lengan panjang yang warnanya senada dengan kebaya ibunya. Bu mar memakai jarit sampai ‘ninthing’ sebagai bawahan. Lama ia berkaca di depan cermin besar di kamar tamu, mengagumi motif jarit dan sanggulnya yang elok. Kurang kebaya cokelat keemasan yang akan membuat penampilannya sempurna. Ia akan sangat cantik malam ini, sama cantiknya kala suaminya dulu menikahinya. Bu Mar mencari kebayanya di kamar namun ia tak menemukan tergantung di balik pintu, dalam lemari atau pun di kasur. Di mana kebaya brokat cokelat emas kebanggannya itu ?

Pintu kamar diketuk, muncul Ika di balik pintu.
"Bu, ini kebayanya ….", Ika berbicara lirih, gemetar dan tertahan..
"Iyo, endi kebayaku, Nduk"
"Anu Bu kebayanya.. anu.. kebayanya gosong pas saya setrika".
"Hee… kok iso…"
Ika menuturkan bahwa ia tadi diminta menyiapkan kebaya untuk dipakai malam ini. Ika yang ingin mengambil hati bu Mar berinisiatif menyetrika kebaya tersebut. Rupanya kebaya brokat cokelat keemasan yang sedari dulu aturannya tak boleh disetrika, benar-benar tak tahan dengan suhu panas. Hanya beberapa detik kebaya itu hangus membentuk motif setrika pas tepat di bagian dada.
Bu Mar hanya sayup-sayup menerima penjelasan itu, kepalanya berat dan mendadak pandangannnya silau lalu berujung gelap, lemas lunglai lalu pingsan. Bu Mariani, istri almarhum Pak Darmono mantan menteri keuangan batal hadir di resepsi pernikahan putra presiden, Abas dan Aulia.

[[end]]