Kamis, 03 Mei 2012

Sartika

Malam makin larut, hitam gelapnya pekat mencengkram langit. Awan kelabu hanya menyisakan sedikit ruang bagi bulan dan bintangnya bersinar dan semuanya terasa sunyi. Sebuah mobil menerobos jalan di tengah hutan Ngawi dengan mengandalkan terang dari lampu sorot, berjalan dengan kecepatan rata-rata berusaha mencapai tujuan akhir, Magetan Jawa Timur. Seorang wanita berada di kursi penumpang depan menghapus titik-titik air matanya yang luruh sejak tadi dengan sapu tangan, sesekali ia terisak. Ia tak ingin gaduh, namun bagaimanapun nafas tersengalnya kedengaran saat sunyi. Matanya menatap jalan, namun jelas fokus pikirannya tidak di depan. Di kepalanya masih teringat kejadian lima jam yang lalu di Wonosobo, Jawa tengah. Ia telah meninggalkan salah satu putrinya, Sartika di asrama tuna runggu Dena Upakara. Bocah perempuan berusia sepuluh tahun itu kembali dihadapkan dengan perpisahan dengan ibunya. Ia meraung menangis ketika wanita itu mengecup pipinya dan memeluknya, Sartika memeluk erat tak ingin ditinggalkan. Ia mencengkram tangan ibunya erat-erat ingin ikut namun keinginan itu adalah kemustahilan. Wanita itu melepaskan tangan Sartika, ia melangkah menuju mobil yang akan kembali membawanya pulang. Dari dalam mobil ia melambaikan tangan, Sartika menangis makin keras namun ia tak kuasa berlari mengejar mobil itu. Badan kecilnya ditahan oleh seorang suster berpakaian abu-abu yang merupakan pengasuhnya di asrama. Sekuat apapun ia berontak, ia tak akan bisa lepas. Mobil wanita itu pelahan pergi meninggalkan asrama diiringi tangis Sartika yang makin keras, miris, perih dan menyayat. Ia mencoba untuk berontak sekali lagi, kali ini sekuat tenaga ia lawan tangan suster yang menahannya dan.. ia berhasil lepas. Ia lari mengejar mobil itu... ”debuu...debuuu...debuuu” , ia berteriak sekuat tenaga, mengetuk-ngetuk mobil itu. Mobil itu tetap melaju. Wanita di dalam bukan tak dengar suara Sartika namun ia teguh hati tak boleh berhenti. Maka Sartika pun menyerah berlari. Ia duduk di aspal sambil tetap berteriak... “debuuu...debuuuu...”. Suster pengasuh mengejar dan memeluknya.. Ia menenangkan Sartika dan membawanya masuk ke dalam asrama Dena Upakara. Wanita itu bernama Hariningsih, ibuku dan Sartika adalah kakakku. Kakakku Sartika tuna rungu sejak kecil.. ketika ia mengatakan “debu..debu...” sesungguhnya yang ia maksud adalah “Ibu”. * Aku masih ingat ibuku pernah bercerita bahwa Sartika, kakakku ketika usia tiga bulan dari telinganya keluar cairan nanah yang berbau busuk. Tak lama setelah itu ibu dan bapakku memeriksakan kakakku ke dokter spesialis THT. Dokter menyatakan bahwa ada gangguan pendengaran di telinga Sartika. Namun apakah masih ada sisa pendengaran atau tidak di telinganya jawabannya masih harus menunggu beberapa waktu ke depan hingga kakakku bisa merespon suara. Kabar itu jelas meruntuhkan hati ibu kala itu. Ia pun bertanya di dalam benaknya apa sebab Sartika mengalami gangguan pendengaran ini. Ia mereka-reka mungkin karena saat masih kecil Sartika pernah dibawa perjalanan jauh dari Madiun ke Trenggalek. Namun nampaknya kemungkinan itu kecil hubungannya sebagai penyebab tulinya Sartika. Apakah ibuku stress atau mengalami gangguan saat masa kehamilan? Jawabnya juga tidak karena saat itu ia juga tak banyak beban karena masih bekerja sebagai ibu rumah tangga. Makin dicari makin tak ditemukan jawabannya hingga akhirnya ibu memutuskan berhenti mencari sebab musabab itu. Waktu merambat hingga menambah angka usia setiap orang. Sartika tumbuh seperti anak lainnya namun tanpa pendengaran dan suara dalam hidupnya. Ia tak bisa bicara karena memang ia tak mendengar satu bunyi pun dari telinganya. Maka ia menjadi bocah perempuan yang pemarah dan penangis untuk menyampaikan kemauannya. Mungkin saja ia kesal karena tak seorang pun memahami apa yang ia inginkan. Ia menjadi sangat tergantung pada ibunya, Hariningsih. Bagaimanapun ibunya adalah orang terdekat, paling dekat di kesehariannya yang paling mampu menerjemahkan apa maunya. Namun ibu pun berulang kali menemui jalan buntu jika Sartika memiliki keinginan yang lain dari kebiasaannya. Setiap harinya hidup ibuku dan Sartika tak bisa dipisahkan bahkan untuk waktu sejenak. Saat ibu berada di kamar mandipun Sartika menungguinya di depan pintu, entah mungkin ia takut kehilangan. Umur Sartika beranjak empat tahun dan saat itu tak ada satu katapun yang mampu ia ucapkan. Ibu mulai dirundung gelisah dengan masa depan putrinya kelak. Bagaimanapun Sartika harus bisa berkomunikasi dengan orang lain dan bisa bersekolah seperti anak lainnya. Mulailah ibu mencari informasi kesana kemari tentang pendidikan bagi anak tuna rungu. Saat itu ibu mendapatkan informasi bahwa di Surabaya ada sebuah Sekolah Luar Biasa untuk anak tuna rungu. Ibu mempelajari metode pengajarannya seksama, salah satunya sekolah ini nantinya akan mengajarkan bahasa isyarat bagi siswa-siswanya untuk berkomunikasi. Satu lagi pilihan adalah sebuah SLB di Wonosobo, Jawa tengah bernama Dena Upakara yang metode pengajarannya mengambil sistem Belanda. Salah satunya adalah dengan mengajarkan anak tuna rungu membaca bibir atau membaca artikulasi dan bukan bahasa isyarat. Ibu menimang dua sekolah tersebut dengan perhitungan yang cermat. Jika Sartika disekolahkan di Surabaya, bisa jadi ia hanya akan mampu menguasai bahasa isyarat yang bisa ia gunakan dengan temannya sesama tuna rungu dan hanya orang sekitar yang mengetahui bahasa isyarat. Artinya tak semua orang nanti akan bisa berkomunikasi dengan Sartika karena tak semua orang memahami bahasa isyarat. Namun dari segi jarak dan waktu, lokasi Surabaya lebih bersahabat bagi Ibu dan Bapak yang saat itu masih berdomisili di Pamekasan, Madura. Sementara sekolah di SLB Dena Upakara, Wonosobo Jawa tengah bisa mengajarkan Sartika belajar membaca bahasa bibir, dengan metode ini Sartika kelak tak hanya mampu berkomunikasi dengan sesama tuna rungu melainkan juga dengan orang normal kebanyakan. Sartika akan belajar membaca bibir seseorang ketika berbicara untuk menangkap kata perkata yang diucapkan lawan bicaranya. Tapi lokasi Wonosobo yang sangat jauh menjadi pertimbangan tersendiri bagi Ibu dan Bapak untuk menyekolahkan Sartika di sana. Mereka tak lagi bisa sering menjenguk Sartika seperti halnya jika Sartika sekolah di SLB Surabaya. bukan perkara mudah untuk memutuskan hal ini, usia Sartika masih empat tahun, usia yang sangat kecil untuk dipisahkan dari orang tuanya untuk waktu yang lama. Malam itu di ranjang, sebelum tidur bapak dan ibuku memutuskan untuk mengakhiri keraguan. “Kau ingin Sartika sekolah dimana?” “Berat memang namun kelihatannya Wonosobo jadi pilihan yang terbaik. Ini demi masa depannya” “Kau yakin?” Bapak berusaha meyakinkan jawaban ibu. “Iya. Aku yakin, aku ingin Sartika kelak bisa berbicara dengan semua orang, tidak hanya teman sesamanya yang tuna rungu” “Kau tahu jarak Wonosobo jauh. Pertimbangkan baik-baik” Bapak kembali menantang Ibu. “Iya, itulah yang jadi beban pikiranku. Butuh waktu khusus untuk kita menempuh perjalanan Pamekasan Wonosobo, rasanya sehari tidak akan cukup untuk menjenguk Sartika. Belum lagi nanti bensin dan penginapannya”. “Itu urusan lain, aku akan usahakan itu. InsyaAllah uang praktekku bisa mencukupi kebutuhan itu. Yang paling penting Kau yakin dulu” “Iya.. Demi Sartika..” Suasana mendadak hening. Suami istri itu berpelukan, ibu menangis dalam dekapan bapak. Di permukaan ini hanya akan dipandang persoalan tega dan tidak tega namun dengan pikiran jernih ini adalah demi masa depan. Meski keputusannya seorang ibu harus berpisah dengan putrinya yang masih kecil. Esok dini hari sebuah mobil meluncur dari Pamekasan, Madura menuju Wonosobo, Jawa Tengah. Sartika tidur lelap di dalamnya.. * Sartika menatap wajahnya pada sebuah cermin, di sebelahnya seorang guru mendampinginya mengikuti pelajaran membaca bibir. Rutinitas yang dilakukan hampir tiap hari di SLB Dena Upakara, Wonosobo. Namun pikirannya melayang ke kabar pagi ini yang ia terima dari suster pengasuh, Suster Miriam. “Sartika, Ibu dan Bapakmu akan datang sore ini” Sartika mengernyitkan dahinya sejenak. Ia mencerna kata demi kata yang diucapkan Suster Miriam. Suster Miriam nampaknya tahu bahwa Sartika masih belum menangkap apa yang ia katakan. “I..bu, Ba..pak akan dat..tang”, ia mengulanginya pelan. Sartika menatapnya lebih cermat, matanya sontak berbinar riang. Ya, yang ia tunggu akhirnya tiba. Bapak Ibunya akan menjenguknya, sudah sebulan lamanya ia menanti. Selama lima tahun ia tinggal di Dena Upakara, tak pernah sekalipun ia melupakan rindu pada Bapak dan Ibunya. Setiap dua bulan sekali orang tuanya menjenguk ke Wonosobo, belakangan ini jauh lebih sering karena Bapak dipindahtugaskan ke Magetan, kota kecil perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah sehingga jarak yang terbentang tak sejauh sebelumnya ketika keluarganya masih berada di Pamekasan, Madura. Jumat sore, bel berbunyi di asrama Dena Upakara. Bagi sebagian siswa tuna rungu yang masih memiliki sisa pendengaran, bel itu adalah hal yang sangat dinantikan. Sementara bagi yang tidak maka mereka akan tahu isyarat kepulangan, istirahat dan tanda lainnya dari suster pengajar. Kakakku Sartika termasuk tuna rungu yang tak memiliki sisa pendengaran sama sekali. Meski dibantu alat bantu dengar namun hal itu tak banyak membantunya karena yang ia dengar mungkin hanya gaung di telinga. Itulah sebabnya ia tak begitu suka menggunakannya kecuali di saat tertentu saja. Suster telah memberikan tanda pulang, anak-anak segera mengemasi barangnya yang ada di meja dan memasukannya pada tas masing-masing. Sartika segera semburat berlari keluar kelas dan menghambur dengan para siswa lainnya yang juga ingin selesai sekolah. Pandangannya ia arahkan ke bangku tunggu asrama yang berada di dekat pintu masuk. Benar saja di sana Bapak dan Ibu telah menunggunya. “Ahh...aaahhh”, suara Sartika girang. Ia berlari sambil melambaikan tangannya. Sesuai dengan peraturan asrama, Sabtu Minggu adalah hari bebas bagi anak-anak. Sebagian besar siswa di SLB ini berasal dari luar kota dan mereka tinggal di asrama selama masa pendidikan. Jika ada yang menjenguk, mereka biasanya akan menghabiskan waktu bersama keluarganya di luar asrama menikmati suasana Wonosobo yang tentram. Namun jika yang tidak, mereka memilih untuk mengisi liburnya di dalam asrama. Sartika malam ini akan menginap bersama orang tuanya di losmen sederhana di tengah kota Wonosobo. Rutinitas yang dilakukan setiap kali bapak ibu datang selalu hampir sama. Jika malam tiba, bapak akan mengajak jalan keliling alun-alun sambil memesan wedang ronde. Mobil sengaja ditinggal di losmen dan ketiganya akan berkeliling Wonosobo dengan menggunakan delman. Bunyi ketukan sepatu kuda yang beradu dengan aspal sama hentakannya dengan debar dada Sartika karena ia bahagia bersama orang tuanya. Meski mungkin tak banyak yang bisa ditangkap dari pembicaraan panjang orang tuanya namun Sartika tahu bahwa ia tak lagi sendiri di asrama. Ia masih memiliki orang tuanya yang mencintainya. Keesokan harinya Ibu akan menggandeng tangan Sartika kembali berjalan-jalan. Selalu tujuannya adalah toko buku dan Sartika akan memilih beberapa kebutuhan yang ia perlukan selama di asrama. Namun entah mengapa selalu saja ibu memiliki kebiasaan untuk membelikan Sartika kertas kado. Mungkin karena kertas kado yang digantung tertata rapi selalu menerbitkan senang bagi siapapun yang melihatnya. Sartika sebenarnya tak butuh-butuh benar kertas kado itu namun ia tetap riang membelinya. Mungkin akan ia simpan jika suatu saat temannya ulang tahun atau untuk sampul buku. Selanjutnya ibu dan bapak akan mengajaknya ke supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan seperti handuk, pasta gigi, sabun atau semua kebutuhan lain yang ia perlukan selama tinggal di asrama itu. Selalu begitu, selalu berulang namun ketiganya tak pernah bosan untuk melakukan hal yang sama ini berulang kembali. Hingga aku lahir dan aku sering dibawa ke Wonosobo menemani ibu bapak menjenguk kakakku, kebiasaan ini tak pula berubah dan aku pun menikmatinya. Dan hari berganti, ketika minggu sore adalah waktunya bapak dan ibu kembali pulang. Aura sepanjang hari itu berubah muram meski kami berusaha sekuat tenaga melawannya. Bapak mengajak kami kembali berkeliling Wonosobo dengan delman, ibu mengajak kami kembali ke beberapa toko untuk membeli makanan kecil bekal pulang nanti. Namun waktu tanpa permisi merambat menuju pagi, siang lalu sore dimana akhirnya aku, Sartika, ibu dan bapak mengantar kakakku ke asrama Dena Upakara. Sartika menangis di pelukan ibu di mobil, sementara bapak berusaha menegarkan hati dengan tetap menyetir mobil menuju asrama. Sementara aku yang masih kecil merasa suntuk bukan karena harus berpisah dengan kakakku melainkan karena tak lama lagi harus menempuh perjalanan jauh lagi ke Jawa Timur. Kami sudah sampai di asrama, semuanya turun dari mobil. Kakakku melangkah dengan kaki berat, sama halnya dengan ibu yang dalam hatinya tak rela menyerahkan putrinya kembali ke pengasuh asrama. Sementara di pintu masuk asrama sendiri, beberapa suster sudah menanti kedatangan murid-murid yang banyak diantar kembali pulang setelah melewati akhir pekan dengan keluarganya. “Suster, Ika mau masuk asrama lagi ini”, suara ibu berusaha tegar dengan memberi seulas senyum pada pengasuh asrama. “Hallo Ika, bagaimana liburannya”, suster tersenyum menyapa Sartika. Sartika tak menjawab, tangannya masih memeluk ibuku erat. “Ayo Ika, sudah ditunggu susternya”, ibuku pelahan berusaha melepaskan pegangan kakakku. Di samping ibu, bapak tak banyak bicara hanya tersenyum sambil menata hati karena ia pun sebenarnya tak tega menghadapi momen ini. “Tidaaakkk mauuu”, suara Sartika berontak. Suaranya agak berat dan terdengar kurang jelas namun kami tahu apa yang ia ucapkan. “Ayo Ika”, suara suster membujuk namun tenaganya kuat membantu melepas Ika dari ibu. Ibu lalu mencium kening kakakku, bapak melakukan hal yang sama. Mereka lalu memeluknya. Aku tak paham dengan apa yang terjadi sebenarnya. Yang kutahu setelah itu adalah bapak, ibu dan aku masuk kembali ke dalam mobil. Ibu membuka kaca jendela dan melambaikan tangan dengan air mata menetes deras di pipi. Bapak menyetir pelahan mobil meninggalkan asrama dan di pintu masuk asrama kakakku berontak untuk mengejar kami dengan menangis kencang. Tubuhnya dipengangi oleh dua pengasuh asrama yang mencegahnya untuk mengejar mobil kami namun.... tak lama kakakku lolos dari mereka. Ia lari sekuat tenaga mengejar ibu dan bapak. “debuu...debbbuuuuu....debuuuuu”, suaranya berteriak keras. Aku tahu saat itu kakakku sebenarnya sedang mengucapkan ibu. ~ Pernahkah kau membayangkan bagaimana menjadi tuna rungu? Bagaimana sepinya dunia mereka? Bagaimana mereka menerjemahkan kata demi kata di percakapan bahasa normal untuk diketahui maknanya. Cobalah sekarang kau ambil kapas lalu masukkan ke telinga kanan dan kirimu lalu sumpal rapat-rapat. Sumpal hingga kau tak lagi mendengar suara apapun. Berjalanlah di tengah keramaian, beradalah di sekitar kawan-kawanmu yang sedang bercakap-cakap, beradalah di depan televisi yang suaranya kau rendahkan volumenya. Sepi, hampa, samar, kebingungan, kecurigaan, pertanyaan lalu nihil. Sesepi itulah dunia kakakku, dunia Sartika, dunia penyandang tuna rungu. ~ Sartika akhirnya lulus dari SLB Dena Upakara dan kemudian berkumpul bersama kami keluarga besarnya. Ia lulus setaraf dengan lulusan SMP setelah menempuh pendidikan dasar dan kejuruan di Wonosobo. Ada waktu beberapa bulan lamanya Sartika berada di rumah dan tak melakukan kegiatan apapun dan itu sangat meresahkan ibu yang tak ingin putrinya membuang waktu tak berarti. Tak kusangka ibu merencanakan sesuatu yang berani : memasukkan kakakku ke sekolah SMA normal. Meski bukan sekolah SMA favorit namun ini bukanlah perkara kecil. Bisakah Sartika menyesuaikan dan mengikuti pelajaran seperti teman-temannya yang normal? Bisakah Sartika bergaul dengan mereka dan tidak dikucilkan? Bisakah ia benar-benar terjun ke dunia yang sesungguhnya setelah sekian lama ia berada di lingkungan sekolah tuna rungu?. Dan ini memang tak mudah. Nilai pelajaran kakakku tertinggal dengan teman lainnya hingga mentalnya jatuh. Ibuku tak putus asa dan mencari jalan keluar lain. Seorang guru les privat didatangkan ke rumah untuk membantu memberi pelajaran pada Sartika. Ia membuktikan kemampuan sebenarnya, ia gadis yang tangguh belajar hingga akhirnya nilainya di ujian terdongkrak. Semua senang, Sartika, ibu, bapak termasuk guru les privat yang berjasa besar membantu kakakku. Beberapa teman yang sempat meremehkan Sartika pun kini lambat laun mendekat dan ia kembali membangun percaya dirinya. Nyatanya tak mudah mempercayai teman jika ia tak tulus. Sartika hanya didekati beberapa kawannya ketika ujian dan nyontek PR setelah itu ia kembali tak dianggap. Beberapa kali aku melihat kakakku pulang dari sekolah dan menangis mengadukan perlakuan temannya. Bapak dan ibu berusaha membesarkan hatinya untuk terus melangkah meski tak mudah. Kenyataan seperti ini adalah pelajaran pertama dan mungkin akan terus berulang. Kenyataan yang mau tak mau harus dihadapi dan tak bisa terus disembunyikan. Sartika melewati tahun demi tahun dengan langkah tertatih yang berubah menjadi tegap dan tegar. Ia membuktikan bahwa tuna rungu pun bisa berdiri sama tinggi dengan orang normal lainnya jika ada kemauan kuat dan pantang menyerah. Ia kini telah memiliki seorang putra berusia 6 tahun bernama Arkan Rabani Ramadhan, normal dan cerdas. Kakakku yang penyabar kini bekerja menjadi seorang perancang busana di sebuah usaha konveksi. Ia membuktikan bahwa dirinya bisa berdiri di kakinya sendiri sama halnya dengan orang normal lainnya. Dialah Sartika, hasil didikan dari ambisi kuat Ibu untuk menjadikan seorang putrinya menjadi pribadi kuat nan tegar.