Minggu, 25 Maret 2012

Mimpi saya tentang Alya



"ma, aku besok mau pertunjukkan balet"
"emang ul il mau main apa?"
"black swan.."
"dimana kak pertunjukkan baletnya?"
"nanti undangannya ada kok.."
lalu gadis mungil itu tangannya di pinggang, megal-megol genit dengan perut buncitnya..

~
"ma, kita mau kemana?"
"ke gandaria city kak. mama mau beli baju blazer"
"nanti kakak pilihin ya?"
"pasti, makanya mama ajak kakak ikut"
"beli warna pink ma, biar bagus"
"pink ya kak?"
"iyah.."
"oke deh..."
toss.. lalu gadis mungil itu melanjutkan coletehannya padaku tentang teman-temannya di TK. sesekali nadanya agak lebay tapi sesekali ia berhenti karena kehabisan nafas dan ceritanya berlanjut lebih panjang.

~
"kakak kenapa nakal tadi di TK?"
"nggak ma, tadi Dio yang ganggu aku makanya aku pukul"
"jangan dipukul kak. kakak pergi aja nanti temennya pasti juga diam sendiri"
"tapi ma..."

~
"ma, pe er nya sulit"
"mana kak?"
"ini kan hitungan yang kemarin mama ajarin kak?"
"nggak tahu ma..."

~
mungkin saya gila tapi saya rasa saya belum cukup gila untuk terus bermimpi bahwa kelak anak saya Alya akan berbincang dan ngobrol seperti itu. sampai saat ini memang belum ada yang bisa ia utarakan meski barang satu katapun. saya tapi optimis kelak ia akan bisa bicara seperti anak lainnya. saya akan jadi ibu yang paling berbahagia di dunia ini jika esok alya bisa bicara dengan saya. apapun itu akan saya lakukan demi mimpi saya jadi nyata..

sekarang saya memang hanya bisa berkhayal. kadang Tuhan baik sedikit menyelipkan mimpi saat alya bisa bicara tapi itu jadi pelipur lara yang terbaik saat ini.

bismillah ya Allah..
Kau Maha Besar, Maha Pengabul Segala Doa..
Saya ingin alya segera bicara..
amin..

tak ada judul...


Tak ada yang terlalu tua dan terlalu dini untuk cinta
Maka tak ada yang terlalu pagi jika aku menghayal tentang kita
Ketika esok kau dan aku bersama dalam tua
Mungkin rasanya akan berbeda dengan sekarang
Namun kita tetap seirama

Kau harus tepati janji..,
Kita sepakat tinggalkan Jakarta

Maka masihkah kita memegang mimpi yang sama
Rumah di pelosok desa
Dengan halaman luas

Mungkin esok aku akan lebih tua darimu
Aku akan membaca dengan kacamata yang selalu turun di hidungku
Mataku pun tak lagi awas mengamati
Badanku pun tak lagi sekuat sekarang
Dan pasti aku akan langganan sakit masuk angin

Dan kau tetap setia padaku,
Merebuskan kacang dan ubi pengganjal perut
Atau memamerkan setandan pisang hasil kebun belakang
Mungkin juga kau akan komentar dengan politik yang tak berkesudahan
Sementara aku memilih menyimaknya dengan senyum

Kala tua nanti ...,
Kita mungkin berbeda
Namun kita akan makin seirama

Aku mencintaimu selamanya...

Batal Kencan


Matahari makin cepat saja meluncur ke bawah
Aku mulai resah
Pikiranku melayang pada tak kepastian
Seharusnya senja ini aku bersamamu
Rencananya di kepalaku kau ada di hadapanku sekarang

Apa boleh buat
Aku dianugerahi mulut pengecut
Tak berani mengaku
Tak juga bisa bicara jujur
Aku lebih nyaman bersahabat dengan dipendam

Ah sialan..,
Makin cepat saja malam menggeser siang
Senja terlalu singkat
Dan aku mulai mengumpat
Harusnya aku mengajakmu kencan

Dungunya aku, Sayang
Waktu berjalan di sebelahku dengan menghardik pedas

Sebelum kau besok pulang
Pulang ke tempat yang jauh
Mungkin akan lama berjumpa
Dan kita hanya bertukar kabar dengan kata-kata hambar

Ah, seharusnya sekarang kuberkencan denganmu
Menyentuh tanganmu meski hanya sebentar

Dan aku akan menatap matamu yang sering kuhindari
Sialan.., mustahil itu!!!!

Sekarung rindu dan rasa ini bertemu dengan kopi di cangkir..
Larut kutelan pahit-pahit
Kukenang bahwa esok kau tak lagi di sini

Sialan...,
Aku memang pengecut..
Harusnya kuberkencan denganmu sore ini..
Besok kau pergi pagi-pagi

Jumat, 16 Maret 2012

Celengan Minnie Mouse


Bentuknya tabung bulat kaleng setinggi dua puluh centimeter, di sekeliling sisi tabung itu dihiasi gambar dua Minnie Mouse berekspresi ceria nan genit berlatar belakang warna merah jambu berserta pernak pernik manis lainnya. Pada sisi atas tabung itu tertutup cat warna putih polos dan ada segaris lubang tepat di tengahnya. Itulah celengan anakku, celengan kesayangan, celengan harapan, celengan milik Alya.
Celengan itu bentuknya tak ada beda dengan celengan kebanyakan. Seingatku dulu aku membelinya saat belanja bulanan di sebuah hypermarket dekat rumah. Celengan itu tersusun rapi berserta celengan lain kawan-kawan sepabriknya dalam sebuah keranjang besar di tengah lorong terang. Di atas keranjang besar itu tergantung tulisan “OBRAL”. Aku memasukkannya begitu saja ke dalam troli belanja. Pikirku celengan ini bisa untuk mengajarkan Alya menabung sejak kecil. Di rumah memang sering bertebaran uang receh sisa belanja, kadang ada pula uang seribu atau lima ribuan rupiah kembalian uang tol atau parkir yang tertinggal di saku baju. Daripada tak berwujud sesuatu maka mungkin lebih baik uang uang kecil itu ditabung di celengan Minnie Mouse ini agar bisa terkumpul dan berguna di kelak hari. Namun nyatanya celengan Minnie Mouse ini artinya lebih dari itu..
*
“Anak kita autis, Bun” tutur suamiku sore itu. Ia menyampaikan kabar itu hanya beberapa saat setelah aku sampai dari pulang kerja. Pagi sebelumnya Ia memang membawa Alya, putriku untuk diobservasi ke seorang psikolog anak. Alya belum bisa bicara sepatah katapun di usianya yang ke 2,5 tahun. Sebagian orang menilaiku terlalu panik karena sebenarnya biasa anak kecil telat bicara dibandingkan teman-temannya. Namun ada yang berbeda dengan Alya, jika teman seusianya sudah lancar bicara susu, makan, minum, pipis maka seharusnya Alya minimal sudah bisa bicara “u..u, mam, num, pis” namun kenyataannya tidak. Artinya Alya tertinggal jauh dengan kawan sebayanya. Meski suka dengan keramaian anak-anak, Alya juga lebih senang bermain sendiri. Selama delapan bulan seminggu sekali kami mengantarkannya untuk mengukuti terapi bicara pada seorang psikolog anak. Aku pernah bertanya pada psikolog pertamanya apakah Alya autis, namun ia mengatakan tidak. Legalah hatiku ketika itu karena Alya hanya terlambat bicara. Namun ditunggu selama beberapa bulan tidak ada perubahan berarti. Hingga akhirnya suamiku memilih untuk mencari opini kedua dari ahli anak lain dan akhirnya hasil observasi menyebutkan bahwa putriku mengidap spektrum autis.
Kalimat itu sontak membuatku terpukul namun sore itu pula aku seakan tegar dan tak merisaukan hal itu. Suamiku menjelaskan bahwa Alya harus menjalani terapi minimal 6 jam di yayasan tumbuh kembang anak yang dibagi menjadi tiga hari. Aku berpikir apakah artinya aku harus mengundurkan diri dari pekerjaanku? Lupakan itu pasti ada jalan, sekarang aku dan suamiku harus bekerja sama jauh lebih kompak untuk membesarkan Alya yang saat ini memikul tas ransel bernama ‘autis’ itu. Sembari berusaha tegar, pikiranku melayang ketika masa kehamilan Alya. Rasa-rasanya tak ada yang berbeda dan permasalahan berarti ketika itu, suplai makanan bergizi dan susu kehamilan pun tak pernah kurang. Dokter kandungan pun menjelaskan bahwa Alya selama di perut bagus dan normal. Alya hingga usia setahun lebih pun tak ubahnya seperti anak normal biasa. Ia pernah memanggilku “mama” dan ia juga bisa menyanyikan lagi burung kakak tua, cicak cicak di dinding, naik kereta api meski baru huruf vokalnya saja. Artinya tak ada masalah penerimaan atau respon dari putriku Alya. Namun entah mengapa pelahan-lahan memorinya turun dan ia tak lagi bicara. Beberapa spekulasi teman yang pernah mendengar cerita tentang autis menduga ini mungkin ada hubungannya dengan sebuah imunisasi. Namun karena selama ini belum ada penelitian yang membuktikan hal tersebut maka keyakinanku antara ya dan tidak. Tapi sudahlah aku memilih mengakhiri perdebatan ini karena hanya akan menimbulkan penyesalan yang tak juga mengubah keadaan.
Lalu Tuhan menunjukkan jalan yang amat sangat lapang di tengah kabar Alya autis. Atasan di kantor tiba-tiba tanpa kuberitahu justru terlebih dulu memanggilku dan bertanya tentang kondisi Alya. Aku menceritakan semuanya hingga akhirnya aku mengajukan permohonan perubahan jadwal libur. Jika biasanya aku bisa libur Sabtu Minggu maka kini aku membutuhkan libur di hari Selasa dan Kamis. Di hari itulah aku bisa meluangkan waktu untuk mengantarkan Alya terapi. Sementara untuk terapi hari Sabtu, suamiku dengan besar hati yang akan mengantarkan putrinya. Jika ini disetujui selesai sudah masalah pengaturan waktu terapi di yayasan tumbuh kembang untuk Alya. Alya bisa mengikuti terapi seminggu tiga kali selama kurang lebih enam jam. Syukurlah dengan amat mudah kantor mengabulkannya.
Alya sangat disiplin terapi, jarang ia bolos terapi kecuali jika ada kepentingan yang penting sekali atau jika ia sakit. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan aku menyimpan harapan besar Alya bisa segera tertangani dengan baik dan ia beranjak maju dan meninggalkan ‘ransel autis’ itu. Jika sebelumnya putriku tak fokus memandang seseorang jika diajak bicara, pelahan ia mau menatap. Jika sebelumnya ia makan dengan tiduran di kasur, kini ia mau duduk di kursi anaknya selama ia makan. Kebiasaan berputar dan berjalan jinjitpun sudah ia tinggalkan dan jarang ia lakukan lagi. Perhatiannya pada orangtuanya pun meningkat berkali-kali lipat, ia sangat ingin berada di dekatku terus dan selalu haus perhatian. Memang merepotkan namun aku senang karena artinya Ia ada kontak dengan dunia luar dan tak terus sibuk dengan dirinya sendiri.
Namun masih ada yang sangat aku nantikan pada Alya, yakni ia bicara. Aku ingin sekali mendengarnya memanggilku mama, makan, minum dan menceritakan banyak hal apapun itu. Hampir selama delapan bulan terapi, belum ada tanda tanda Alya bicara jelas. Aku beranikan bertanya pada terapis Alya di yayasan tumbuh kembang anak mengapa Alya sampai saat ini belum juga bisa bicara. Terapis itu tersenyum, ia nampaknya paham benar dengan kerisauanku.
“Mama Alya harus sabar. Terapi ini tidak instan membuat Alya langsung bisa bicara. Terapi enam bulan itu perubahannya tipis, tipis sekali dari kondisi awal. Jalan menuju ke sana masih panjang.. kalau rutin pasti bisa...”.
Terapis itu lalu menjelaskan beberapa pasiennya yang terdahulu dan yang saat ini sedang ia tangani. Ada yang mulai bisa bicara pada saat usianya lima tahun ke atas, namun ada pula yang usia di bawah lima tahun sudah mulai bicara. Intinya perkembangan tiap anak berbeda.
“Alya harus fokus dulu, ini yang terpenting. Sekarang fokusnya masih lari-lari. Kalau dia sudah fokus baru nanti beralih ke terapi bicara. Terapi bicara adalah terapi yang nomor kesekian Mama Alya, yang penting fokus dulu”.
Aku mengangguk dan memahami penjelasan itu, sekali lagi saat itu hal ini tak banyak merisaukanku. Nampaknya ketika itu stok optimisku sedang banyak banyaknya. Namun apakah stok optimisku selalu penuh? Nyatanya tidak..
Namun sekuat apapun aku tegar nyatanya air mata tak bisa terus ditahan agar tak jatuh. Beberapa kali aku menangis, bukan menangis menyesali kondisi Alya namun aku rindu..rindu sekali mendengarnya bicara. Sepatah kata saja adalah hujan yang menyejukkan panas sekian lama yang ada di dada. Sore itu seorang anak perempuan seumuran Alya datang ke sebuah warung sea food dekat rumahku. Mereka duduk tepat di sebelahku. Tak lama setelah memesan makanan, sang anak perempuan ini mulai tak sabar.
“Kenapa pesananannya gak datang-datang?”
“Iya dik masih dimasak sama mamasnya”, Ibunya menjawab..
Aku mendengar percakapan keduanya, pikiranku melayang pada Alya dan bersamaan dengan itu air mataku luruh. Aku rindu putriku Alya di rumah, aku rindu saat ia kelak bisa bicara denganku. Jika saja Alya normal pasti ia sudah ceriwis dan banyak bicara padaku. Dan aku pasti akan jadi teman terbaiknya karena kami sama-sama doyan bicara dan tertawa. Inilah momen pertama yang menyadarkanku bahwa Alya yang memikul ransel autisnya bukanlah perkara yang mudah dan gampang dijalani. Ini akan jadi perjalanan panjang, sangat panjang dan terjal. Selain berpeluh keringat, mungkin akan ada air mata berulang kali luruh dan semangat yang terhempas.
Maka silih berganti momen bersama Alya aku jalani. Kami tertawa bersama namun ada kalanya ada sesak di dada yang harus dihadapi. Alya pernah bermain dengan tetangga teman sebayanya. Anak itu berulang kali mengajak Alya bicara namun Alya tak kunjung menjawab dan kemudian anak itu kesal lalu menjambak Alya dan memukul kepalanya. Alya hanya diam dengan wajah polosnya diperlakukan seperti itu oleh temannya dan sama sekali tak membela diri. Aku yang menyaksikan peristiwa itu segera menarik Alya dan menggendongnya menjauh. Alya yang dipukul diam saja namun rasa terpukul itu justru aku yang merasakannya berkali-kali lipat. Bukan marah pada kawannya tadi tapi aku seakan dibeberkan sebuah layar besar tentang apa yang akan dihadapi Alya dengan autisnya hari ini dan masa mendatang bahwa akan ada banyak yang tak bisa menerimanya dengan segala kekurangannya, bahwa mungkin akan ada teman-teman yang mengucilkannya, mengejeknya dan tak menerimanya. Aku mau tak mau harus sadar tentang itu..
Alya senang sekali dengan mall terutama yang lorong-lorongnya luas. Maka ia akan berlari dan berteriak kencang mengungkapkan dan meluapkan kegembirannya. Senyum dan tawanya akan menghiasi wajahnya jika ia sudah sampai mall. Lalu ia tertawa, berteriak dan berlari lalu...ia sampai pada sebuah ruang luas lalu ia berguling-guling di lantai mall. Sontak semua mata menyaksikan tingkah polah Alya. Ketika Alya masih kecil mungkin tak banyak yang heran dan melihat itu bentuk keriangan anak-anak biasa. Namun Alya sekarang hampir 3,5 tahun dan badannya sama dengan anak-anak seusianya yang sudah tahu bertingkah laku normal dan tenang. Maka kini sebagian orang yang mengamati Alya pun akan tahu bahwa ada yang berbeda dengan putriku ini. Untuk itu aku siap tidak siap harus tegar menghadapi tatapan heran dan pertanyaan di kepala mereka : “ada apa dengan Alya?”.
Sebagai pengidap autis Alya juga harus menjalani diet. Ia dilarang minum susu sapi dan makanan turunannya, ia juga harus berhenti mengkonsumsi terigu. Awalnya aku rasa gampang menjalaninya namun rupanyanya setelah didaftar banyak juga makanan yang harus absen dari Alya. Putri kecilku dilarang makan roti, mie, sirup, gula-gulan, keju, biskuit, bolu, cokelat, wafer, snack dan lain sebagainya. Padahal jika dirata-rata makanan anak-anak yang dijual di pasaran rata-rata adalah berbahan pantangan makanan Alya. Maka pemandangan miris adalah jika Alya menerima bingkisan ulang tahun temannya, ia hanya bisa mendekap bingkisan itu tanpa boleh memakannya. Kasihan sekali wajahnya, ia mungkin bingung mengapa ia dilarang sementara teman-temannya boleh.
Hal paling menyayat hati adalah ketika Alya punya mau namun ia tak mampu menjelaskannya. Ia terlanjur kesal dan marah hingga akhirnya menangis meraung-raung tak karuan. Mungkin jika ia menangis di dalam rumah tak terlalu masalah, namun jika ia menangis di tengah keramaian rasanya sedih ia jadi bahan perhatian orang dan seakan aku sebagai ibunya tak bisa memahami apa mau anaknya sendiri. Namun bagaimana aku tahu, Alya tak bicara sepatah katapun sampai saat ini.
Hingga suatu waktu aku merasa sangat down dan berada di posisi paling nadir dalam hidup. Aku tak yakin bisa membesarkan Alya dengan kondisinya seperti ini. Kuingat-ingat lagi dan mencari penyebab mengapa Alya autis hingga ada sebuah penyesalan besar mengapa tak bisa memutar waktu lagi. Terbayang bagaimana beban dan mendung gelap di waktu ke depan. Hingga akhirnya aku tiba pada suatu titik dimana sampai pada logika berpikir apa artinya kalau aku menangis terus seperti ini? Apa gunanya terus menangis dan seakan menarik semua orang untuk membagi kesedihan yang aku rasakan? Apakah mau terus menuai iba belas kasihan? Kalau itu yang dicari berarti ini aku berdosa pada Alya karena sebagai ibu aku justru tak berbuat apa-apa namun hanya stag berada di posisi depresi. Lalu aku membuat sebuah perjanjian sendiri dalam diriku. Oke, silahkan menangis jika memang ingin menangis karena memang itu manusiawi. Namun jangan bagi pada banyak orang kesedihan itu. Jangan lagi terlalu lama larut dalam duka karena Alya di sana menunggumu. Sejak itu plassss.... beban untuk membesarkan Alya menjadi jauh lebih ringan.
*
Aku merasa apa yang aku lakukan untuk mencoba menanggalkan ransel autis yang terus dipikul Alya belumlah maksimal. Maka suatu hari ketika aku berbicara perkembangan Alya pada terapisnya, ia menyarankanku untuk membawa Alya ke seorang dokter spesialis k tumbuh kembang anak yang biasa menangani anak-anak berkebutuhan khusus.
“Tapi mama Alya jangan kaget ya, dokter itu antre pasiennya lama. Bisa sampai setahun”.
“Oh ya? Memangnya dokter itu metodenya seperti apa?”
“Nanti air seni, pup dan rambut Alya akan diambil dan dibawa ke Amerika untuk diperiksa”
“Gunanya apa?”
“Untuk tahu Alya kadar logam yang ada di tubuh Alya dan Alya alergi makanan apa saja agar gejala autisnya bisa dikurangi. Ada juga obat agar kandungan logam yang mungkin ada di tubuh Alya sebagai pencetus autisnya berkurang”
Aku tak pikir panjang dan tak menunggu lama segera mendaftarkan Alya untuk bisa berkonsultasi pada dokter spesialis kejiwaan anak itu. Sekali lagi Tuhan Maha Baik, pagi itu suster di rumah sakit tempat dokter tersebut berpraktik menjelaskan bahwa Alya hanya perlu menunggu lima bulan agar bisa diperiksa dan diobservasi oleh dokter tersebut. Meski termasuk lama, namun ini harus disyukuri karena pasien lain ada yang menunggu hingga lebih dari delapan bulan sampai satu tahun. Baru lega sejenak, aku menerima kabar lain dari seorang teman yang putranya juga mengidap autis. Jangan terkejut dengan biaya pengobatan dan biaya dokter ini karena jumlahnya nanti akan mahal, sangat mahal. Aku bertanya nominalnya berapa, namun ia tak menyebutkan pasti. Kurasa ia tak menjelaskannya secara gamblang agar aku tak patah semangat namun di sisi lain ia juga mengingatkanku agar bersiap bekal cukup.
*
Masih ada waktu enam bulan lagi untuk membawa Alya ke dokter tersebut. Maka masih ada waktu enam bulan lagi untuk menabung untuk bisa membiayai pengobatan ini. Aku duduk diam di ruang tamu sambil berpikir bagaimana caranya bisa memperoleh rejeki halal untuk pengobatan Alya. Harus bisa dan pasti bisa.
Pandangan mataku terarah pada celengan Minnie Mouse yang kubeli beberapa bulan lalu. Tiba-tiba aku berpikir untuk mulai menabung namun kali ini menabung bukan lagi di bank melainkan dengan cara lama yakni menabung lewat celengan. Semasa kecil menabung lewat celengan terbukti hasil yang didapat jauh lebih banyak daripada di bank karena tak pernah ada godaan diambil lewat ATM. Aku ambil celengan tanggung itu dan aku goncangkan isinya. Masih ringan dan hanya terdengar bunyi uang logam receh ya nyaring. Aku tahu sekarang.., celengan inilah penolongku ...
Aku tahu Tuhan Maha Baik, bahkan teramat baik. Maka Tuhan membagi pintu rejekiku dari berbagai penjuru. Beberapa teman meminta bantuan untuk menjadi moderator atau pembawa acara di event mereka. Sebagaian acara ini berlangsung justru ketika aku selesai kerja atau pada hari libur sehingga sama sekali tak mengganggu jam kerjaku. Bayarannya tak besar karena aku sudah menanamkan niat dalam diriku untuk membantu dan tak lagi hitung-hitungan materi terutama untuk membagi ilmu. Namun dari sinilah doaku untuk Alya terkabul. Tawaran demi tawaran berdatangan.
Dan siang aku memacu kecepatan mobilku untuk segera pulang menuju rumah, aku ingin segera bertemu Alya si malaikat kecil itu. Sebelumnya pagi itu aku menjadi moderator acara mahasiswa di Depok, jaraknya untungnya tak terlalu jauh dari tempat tinggalku. Sesampainya di depan rumah, Alya seperti biasa tersenyum dan tertawa memamerkan gigi mungilnya yang rapi. Ia menarik tanganku masuk ke dalam, aku mengikutinya dengan luapan rasa senang dan juga tak sabar ingin menunjukkan sesuatu padanya.
“Al, sini mama bawa oleh-oleh..”
Aku masuk dan duduk ke dalam kamar, Alya lalu mengikutiku dan duduk di kakiku. Celengan Minnie Mouse berada tak jauh dari kami lalu aku raih dan aku taruh di hadapan Alya. Kukeluarkan sebuah amplop cokelat dari dalam tas, amplop honorku pagi ini menjadi moderator.
“Al, ini tabung ya nak..”.
Amplop itu kusobek tepinya, kukeluarkan isinya berupa lembaran uang lima puluh ribuan, kulipat rapi dan kuserahkan pada Alya. Alya girang dan tertawa tawa, badannya dihentakkan beberapa kali di pangkuanku. Ia menerima uang lipatan itu dan ia masukkan sendiri ke celengan dengan dorongan tangan mungilnya. Satu..,dua.., tiga.., empat... hingga uang lima puluh ribu itu tak lagi bersisa. Putriku tertawa lebar, dan girang entahlah apakah ia tahu tentang apa yang ia lakukan barusan. Ia bawa celengan Minnie Mouse itu mondar mandir di dalam rumah.
Itulah tabungan pertamaku untuk pengobatan Alya, satu dari sekian banyak upaya agar Alya bisa menjauhi gejala autisnya dan tumbuh seperti anak normal lainnya. Celengan Minnie Mouse itu bagiku dan Alya adalah bukan sekedar celengan uang melainkan juga celengan harapan. Satu pot diantara banyak pot lainnya kami menanamkan benih mimpi-mimpi baik agar semuanya terkabul. Kami berdua memupuk harapan agar bisa segera mengapai mimpi kami bisa berkomunikasi selayaknya ibu dan anak lain yang normal. Alya agar esok kelak juga bisa belajar, bersekolah serta berprestasi seperti anak normal lainnya. Jalan memang masih panjang dan kami ingin menapakinya dengan pelahan dalam bahagia dan optimis.

Tuhan Maha Baik bukan?
[[end]]

Seseorang dari Masa Lalu


kepada seseorang dari masa lalu,
apa kabarmu hari ini?
lama kita tak bersua,
pagi itu kau kirim kabar untuk bertemu

bukan perkara mudah melupakanmu
butuh waktu lama untuk mengeringkan luka
pada kenangan lama aku ingin lupa
lalu aku ingin tegar seakan tak apa-apa

hidupku sudah baik-baik saja tanpamu
aku telah menatanya nyaris sempurna
lalu mengapa aku harus menoleh ke belakang?
pada seseorang dari masa lalu penoreh lara

maka maafkan aku siang itu..,
aku tak bisa menemuimu
kirimlah kabar seperlunya
jaga dirimu baik-baik
jaga dirinya baik-baik
kepadanya kau titipkan hidup, bukan padaku

kurasa kau pun tahu apa alasanku begini

karena manusia tak bisa menguasai rasa
lalu pada aksara aku mengaku

wahai seseorang di masa lalu..
apa kabarmu hari ini?

kulipat cerita kita hari ini..

[[end]]