Sabtu, 17 September 2011

Titip Rindu untuk Alya ..

17 September 2011

Untuk anakku, Rameyza Alya…

Selamat malam sayangku, anakku, belahan jiwaku, cintaku, seluruh hidupku yang bernama Alya. Malam ini mama ingin berkata padamu bahwa mama sangat merindukanmu, Sayang. Bukan karena kita tak berjumpa, bukan karena alphanya waktu namun betapa sulitnya mata kita bertatap, betapa rumitnya apa yang ada di pikiranmu dan di pikiran mama beriringan dan berada dalam satu simpul.

Sayangku Alya,
Mama kangen kamu, Nak. Mama ingin kita berbicara, bisa mendengar satu sama lain. Satu kata saja Sayang, satu kata saja tak mengapa. Alya anakku mama ingin larut dalam pikiranmu, Nak. Mama rela asing di luar sana namun bisa menemani berdua dalam imajinasimu, kita senang sedih tertawa bersama. Bukan seperti ini ketika kau terasa asing sendirian di mata kami sementara kadang ketika semua memanggilmu tak juga kau mendengarnya.

Anakku tersayang,
Tahukah kau bahwa aku mencintaimu? Mencintai hingga dalam urat nadi, hingga celah-celah darah? Merasakah kau nak hangat kerinduan mama untuk bisa bicara dan bisa kau mengerti. Apakah sampai selama ini pesan mama bahwa aku mencintaimu sayang, sangat sampai di hatimu?

Manisku..,
Malam ini ketika kau menangis dan mama berusaha menjelaskan dan bertanya padamu lalu tak memperbaiki keadaan maka mama berada dalam titik terendah.
Tak ada yang lebih menyiksa mama ketika kau menangis namun mama tak paham apa yang kau inginkan. Tak ada yang lebih menusuk ketika mama ingin bicara padamu meski pelan mama mengucapkannya namun tak jua kau paham meski hanya sekedar isyarat.. maka saat kau berteriak, air matamu mengalir berbulir-bulir, wajahmu memerah maka saat itulah sesak di dada menghantamku bertubi-tubi. Sungguh mama ingin menenangkanmu, sungguh mama dalam imajinasimu ingin menjadi menemanimu dan menjelaskan menjawab kebingunganmu dan tak meninggalkanmu dalam tanda tanya yang menakutkanmu. Mama sudah bicara sayang, mama sudah membelai, mama sudah mencintaimu, mama sudah mendekapmu, semuanya sayang...

Sayangku,
Kumohon mengertilah.. sedikit saja sayang.. beri mama harapan bahwa kita akan benar jadi sahabat. Bahwa esok kita bisa bicara satu sama lain, tertawa, membanggakanmu, dan mama merasa berarti untukmu..
Maafkan mama jika selama ini tak bisa memahamimu. Tak bisa menerobos lapis kaca antara kita yang bernama autis. Mungkin belum Sayang, namun suatu saat nanti berjanjilah pada Mama bahwa kita akan bertemu di ujung lapis kaca ini dan tak lagi ada yg menghadang kita lagi untuk bersentuhan. Saat kau sadar bahwa mama adalah yang paling mencintaimu..

Mama mencintaimu sayang.. melebihi hidupku sendiri..

Selamat malam Sayang..
Mimpi indah malam ini.. mimpi yang menceritakan bahwa Mama mencintaimu dan akan kau ingat saat kau bangun nanti..

Selasa, 13 September 2011

Cukup cukupilah ..

Sayangku..
Terkadang kita harus terima ketika telapak tangan kita hanya mampu menggenggam bintang..
Meski mata kita terus tertuju pada matahari..
Syukuri sayang, karena bintang pun tetap akan benderang..

Sayangku..
Terkadang kita harus tersenyum ketika sebenarnya keadaan mendesakmu menangis..
Syukuri sayang, setidaknya mereka di luar sana tak menyaksikanmu bersedih
Kau adalah buah buah ketegaran

Sayangku..
Terkadang sayap kita hanya mampu berkepak hingga langit kedua atau ketiga..
Sementara pandanganmu memaksakan berada di langit ke tujuh..
Terimalah sayang, ini sudah cukup tinggi dibandingkan yang lain..
Bukan menyerah tapi ini adalah cukup..

Sayangku..
Tak semua sesuai rencana
Hanya yang terbaik yang membesarkan hati jiwa
Aku cinta kau
Tak ada kesangsian lain yg bisa kita raih
Namun tidak sekarang..

Aku masih cinta kau..
Cukup cukupilah kurangmu..

Senja ini kau ku dekap...

Rabu, 07 September 2011

Alya, Aku dan Autis ...



Bukan perkara mudah ketika sore itu suami saya menjelaskan bahwa Alya baru saja didiagnosa autis oleh seorang psikiater di Cikarang. Hal itu sebenarnya menjawab pertanyaan saya selama ini mengapa perkembangan komunikasi Alya terpaut jauh dengan kawan-kawan sebayanya. Namun sebenarnya bukan jawaban itu pula yang saya ingin dengar mengenai kondisi Alya.

Saya pedih, saya akui itu. Toh sejak delapan bulan lalu saya mengikutsertakan Alya pada sebuah terapi bicara pada seorang psikolog sebelumnya, saya tahu Alya memiliki kekurangan. Tapi saya saat itu sedang punya semangat yang besar untuk segera menyelamatkan Alya agar tidak terlambat mendapatkan penanganan. Sebuah yayasan tumbuh kembang di Cibubur yang letaknya tak jauh dari rumah mengatur jadwal terapi Alya seminggu tiga kali. Saya berbagi tugas dengan ayahnya Alya, dua hari saya yang mengantar sementara satu hari sisanya ayahnya Alya. Syukur alhamdulillah jadwal kantor bisa disesuaikan, atasan memberi pengertian yang sangat membantu. Di sisi lain sebuah tawaran pekerjaan lain yang cukup menjanjikan terpaksa harus saya tolak mengingat kondisi Alya yang butuh banyak perhatian.

Sebuah buku tentang autis memberikan banyak motivasi pada saya. Bahwa autis bisa ditangani dengan terapi yang dilakukan secara rutin dan dini. Bahwa anak autis kelak bisa tumbuh mengikuti anak normal dan tidak perlu dikucilkan. Autis bukanlah gangguan jiwa, berbeda dengan down syndrome dan lain sebagainya. Saya sangat bersyukur dengan membaca buku ini, ada rasa lega dan optimis yang meletup-letup mengenai kondisi Alya.

~

Lalu hari demi hari berjalan. Saya, ayahnya Alya dan juga seorang baby sitter di rumah sangat antusias untuk menjalankan terapi di rumah. Kami saling bekerja sama satu sama lain. Mulai menyikat tubuh Alya dgn sikat halus, memijat, memasakkan makanan dengan menghindari pantangan anak autis, main puzzle, ayunan, berjalan di rumput dan semuanya..

Satu kali terapis Alya mengatakan bahwa Alya menurut observasinya bukanlah anak autis melainkan lebih ke anak hiperaktif dan lambat bicara. Pernyataan itu sungguh sangat melegakan saya. Rasanya ingin berteriak girang bahwa anak saya tidak autis dan tak lama lagi ia akan bisa sejajar dengan anak normal. Mimpi saya tata kembali. Saya yakin Alya akan jadi anak berprestasi, bisa sekolah di sekolah favorit, punya teman banyak, bisa ikut ekstrakurikuler sesuai dengan bakatnya hingga kelak akhirnya saatnya ia bisa membuat saya bangga..

Seorang sahabat ikut berlega hati dengan cerita saya. Namun belakangan ia kemudian berkata "Saya senang Alya tidak autis tapi lebih baik kita persiapkan mental jika kelak dia memang autis. Kita tetap optimis tapi tidak juga terlalu sakit jika kondisi ke depannya berbeda dengan apa yang kita harapkan". Saya mengangguk, saya tahu itu, dan saya tak mau memungkiri jika kelak memang Alya autis dan bukan sekedar hiperaktif. Seiring berjalannya waktu akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan bahwa dalam penanganannya, saya tidak ingin memberi nama apa yang sedang dialami Alya. Saya tidak peduli dia autis, hiperaktif, telat bicara atau apapun. Karena ini akan mempermainkan emosi dan harapan saya yang bisa melambung tinggi namun ada kalanya bisa down. Yang jelas dan penting saya jalankan terapi sebaik-baiknya.. Sebisa saya..

Dalam perkembangannya apa yang ditunjukkan Alya cenderung menunjukkan bahwa ia adalah autis dan saya sepenuhnya tak mengelak itu. Baiklah kalau memang putri cantik ini autis, kita tangani sama-sama. Saya bisa sangat wise, sabar dan tenang ketika menghadapi Alya. Saya bisa sangat berbesar hati bercerita pada semua orang bahwa ya anak saya Alya penderita autis but she will be fine. Saya bisa tersenyum, tertawa dan juga menertawakan kondisi ini. Saya tidak mau menangis, air mata terlalu mahal untuk jatuh demi kondisi seperti ini.
Tapi saya manusia, saya ada fase lelahnya juga. Kadang persediaan sabar saya habis juga ketika lelah dan menghadapi Alya dengan tingkah ajaibnya. Beberapa kali tangan ini mencubit lengan, paha Alya. Beberapa kali saya berteriak menangis jika dalam kondisi lelah Alya menambah beban pekerjaan saya. Tapi selalu hal ini berujung mengharukan. Alya ketika saya marah justru menangis dan lari memeluk saya untuk minta maaf. Saya terenyuh dan justru makin tersayat karena muncul pertanyaan mengapa Alya baru care ke saya kalau saya sudah emosi? Haruskah komunikasi kami dimulai dengan cara seperti ini dulu baru Alya merasa membutuhkan saya?.

Saat Alya terlelap tidur dia tak ubahnya malaikat kecil yang sangat manis. Saya mendekapnya dan bertanya "Al, kamu ngerti nggak sih Nak kalau Mama sayang kamu? Ngerti nggak sih Nak apa yang mama omongin selama ini? Alya sayang mama nggak sih,Nak?"..

Saya bukan super mom, saya juga bukan malaikat atau peri yang punya stok sabar bergudang-gudang. Tapi memang akhirnya saya sadar bahwa menghadapi Alya bukan sekedar bentuk terapinya saja yang dipentingkan tapi bagaimana kesabaran kita tetap bisa terpompa, konstan terjaga, tidak menurun dan harus bisa menekan emosi.Itu yang sekarang sedang saya pelajari dan memang bukan hal yang mudah. Biasanya pelarian saya adalah dengan berbagi cerita dengan sahabat dan juga menengadah pada Tuhan. Ada kalanya saya butuh waktu sendiri untuk sekedar menenangkan tubuh dan juga pikiran yang penat.

Satu kali saya bertemu dengan seorang Ibu dan juga anak perempuannya yang berusia empat tahun. Sang anak bercerita panjang lebar dengan ceriwisnya sementara sang Ibu menimpali dengan senyum dan beberapa jawaban atas pertanyaan putri kecilnya..

Saya tersenyum dan berdoa.. Semoga kelak saya dan Alya bisa seperti itu. Berbagi cerita..

Alya, Mama sayang kamu Nak...